Friday, December 21, 2007

Selingan 2


"Hujan tuh, mendingan nginep aja di sini," kata teman saya.

"Aku kan ada payung!" saya menjawab, bangga.


"Tapi nggak pantas deh, anak muda kok payungan!"

Nah, atas petuah teman saya yang memang sudah sepuh itu, sekarang saya tiba-tiba mikir: iya juga sih, udah keren gini, jaket jumper and topi, malah pakai sepatu bot segala buat antasipasi becek-becekan... masak payungan sih? Warna ijo pula. Memang nggak pantes, jadi nggak usah dipakai payungnya.

Lima menit berlalu, dan saya pun sampai di dekat stasiun kereta berkat adanya sarana transportasi supermodern bernama ojek.

Saya ayunkan langkah kaki dengan hati yang ringan. Hidup is biutiful. Dan tiba-tiba saya jadi kagum pada diri saya sendiri, yang begitu menikmati hidup, begitu gagah menembus hujan.

Tapi...kenapa orang itu ngeliatin saya terus!

Iyaah orang itu. Dari gayanya, sepertinya dia biasa nongkrong di daerah situ.. ah nggak tahulah. Yang jelas, saya nggak suka dengan caranya memandang. Menatap ke mata saya. Hati tiba-tiba rada panas. Setelah menimbang situasi sekeliling, saya putuskan untuk menghampirinya. Aha.. sepertinya rada shock juga.


"Apaan??" saya bertanya tanpa nyengir sedikit pun.

"Maksudnya?"

"Dari tadi ngeliatin saya terus, ada apa !"

Diam sejenak, lalu...

"Ooh gini...," ekspresi wajahnya melunak. "Aneh aja sih masnya ini. Udah tau ujan... bawa payung kenapa dipegangin doang nggak dibuka! hehe..."

Anjrit, rupanya dari tadi saya lupa memasukkan payung ke dalam tas!

"Oooh iya yah, hihi.. maap atas penampilan saya," kata saya, buru-buru kabur dari lokasi itu.


PESAN MORAL:
Jangan membawa payung selagi hujan, jika Anda nggak berniat untuk membukanya.

Saturday, December 15, 2007

Scary Cinema: Kuntilanak Tiga



DISCLAIMER:
Cerita di bawah ini adalah rekaan. Saya tidak melakukannya dengan sengaja seandainya ada kemiripan nama, bentuk tubuh, dan susunan gigi, hihi..



Sore itu, Yanti dan Muti berniat menghabiskan waktunya di sebuah pusat perbelanjaan mewah yang berlokasi di tengah-tengah kota. Pukul sembilan lebih dikit, dan toko-toko udah mulai tutup. Tapi tujuan mereka memang bukan buat belanja. Mereka hendak menonton film "Kuntilanak 2" di bioskop yang terletak di lantai delapan.

Usai memarkir mobil di lower ground, mereka langsung menuju lift, pencet angka 8, dan hups.. sampailah mereka di tengah ingar bingar para abege yang lagi malem mingguan. Ada yang datang berombongan, berpasang-pasangan, ada pula yang clingak-clinguk sendirian. Neon box warna-warni tersebar di segala penjuru, bikin suasana di situ begitu seru.

"Wah, tuh ada cowok keren!" bisik Yanti sambil nunjuk ke seorang mas-mas di pojokan yang lagi asyik mencet-mencet henpon Communicator-nya.

"Dasar ganjen lo! Lagian, potongan rambut kayak iguana darat gitu dibilang keren. Mendingan yang itu dong, mirip Brad Pitt jaman masih miskin," kata Muti, membuang pandangan ke cowok gondrong berbaju item-item, topi item, dan sandal gunung item, yang duduk sendirian di sofa smoking room.

"Cumi, lo sih memang suka yang aneh-aneh gitu," kata Yanti.

"Yee, mentang-mentang cowok lo kalem banget kek guru ngaji!" kata Muti sambil membenahi letak tali tanktop-nya.

Memang, dalam setiap kesempatan, dua cewek ini selalu riuh berdebat. Mungkin justru itu yang bikin hubungan mereka terus erat. Additional info: mereka berteman dari SMA. Dan sekarang, Yanti kuliah di sebuah akademi sekretaris swasta ternama sedangkan Muti mahasiswi teknik informatika jurusan Depok-Pasarminggu (lho!).

***

Lima belas menit berlalu, dan pintu bioskop tujuh pun dibuka. Para penonton dipersilakan masuk. Dengan tertib mereka melangkah ke dalam, lalu duduk di bangku masing-masing. Lalu.. seperti biasa, acara berlangsung dengan rada khidmad. Terdengar bisik-bisik di sana-sini.. jeritan kompak manakala si kunti nongol dengan mengagetkan.. kadang tawa cekikian kecil rombongan abege yang duduk di depan.

"Diem lo!" kata Muti sambil kakinya nendang bangku di depannya, sebagai reaksi atas kegaduhan mereka.

"Lo juga diem deh, dari tadi ribut mulu bedua," bisik mbak-mbak di belakang. Muti nggak nengok, matanya tetap fokus ke layar. Sebagai seorang movie-freak sejati, dia selalu menonton film apa saja dengan khusyuk.

"Eeh, itu ganteng banget yang jadi cowok jahat! Gue mau tuh dijadiin bini simpenannya, hehe...," kata Yanti dengan vokal cemprengnya.

"Sttt...!!"

Suasana hening.. senyap... nyaris tak ada lagi suara-suara spoiler.. bagaikan berada di dalam pesawat ulang-alik pas mesinnya dimatikan (sok tau banget kan gw, hihi.. --Red.)

Lalu tiba-tiba terdengar gerutuan mbak-mbak di belakang Yanti-Muti tadi: "Pilem apaan ini! Mosok udah tiga puluh menit belum ada satu pun adegan ML.. tau gini mendingan beli DVD pilem dewasa aja di Ambas!"

Yanti menimpali, "Dasar otak mesum, udah tau kan yang kita tonton ini pilem horor... kalo nggak buta hurup, baca deh tadi judulnya kan 'kuntilanak dua'!"

"Iyah, dan saya adalah... kuntilanak tiga! Hih, hih, hih... ..."

Tawa melengking itu begitu memekakkan telinga. Intonasinya bikin bulu kuduk beserta bulu-bulu lainnya berdiri...

Serentak, Yanti dan Muti memandang ke belakang... astaganaga!! Di belakang mereka duduk sesosok cewek berwajah pucet, rambut panjang acak-acakan, mengenakan long-dress warna putih kumel... tipikal hantu banget! Dan yang lebih mengagetkan, tiba-tiba semua penonton menghilang... Ruangan besar itu begitu dingin....

"Huwaaaa...!!!" duet yang fals dan nyaring pun terdengar. Berebutan mereka menghambur ke pintu exit.

Mereka berlari sambil menjerit-jerit, menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sempit... sampai akhirnya, di bawah lampu neon yang temaram, terlihat seorang pria berseragam safari hitam. Sebuah handy-talky di tangan kirinya. Dengan sikap waspada, si bapak itu mengawasi dua cewek yang berlari ke arahnya.

***

Sambil terengah-engah, kedua protagonis kita itu menceritakan segala kejadian yang barusan menimpa.

"Yakin bahwa tadi tombol angka yang dipencet nomer delapan? Ini kan lantai sebelas! Saya ke sini karena ada laporan tentang sesuatu yang mencurigakan di sini.... bioskop itu adanya di lantai delapan, Dek!" petugas sekuriti itu menjelaskan.

"Lho kok bisa?" si Yanti bertanya sambil melongo.

Dan sekuriti itu memulai ceritanya yang panjang lebar tentang sejarah berhantunya lantai kosong yang tengah direnovasi itu. Tentang kebakaran yang pernah melanda bekas ruangan bioskop lantai sebelas. Tentang kemunculan hantu legendaris bernama Rositta. Juga tentang beberapa pengunjung yang mengalami nasib penghantuan serupa dengan mereka, yang prosedur awalnya sama: disesatkan ke lantai 11.

Semuanya bikin Yanti dan Muti tambah lemes, tiba-tiba perut mules. Dan mereka pun sepakat: nggak akan lagi-lagi nonton pilem hantu... Mendingan nonton pilem saru.



Thursday, December 13, 2007

Lucy II


Singkatnya, saya kenal dia dua tahun silam. Akhir tahun lalu, dia melahirkan anaknya setelah hamil di luar dan di dalam nikah --dalam usia kurang dari 20 tahun. Dan beberapa bulan kemudian dia berangkat ke luar negeri buat mencari rezeki, menambah nafkah buat anak "di luar dan di dalam nikah" tadi.

Semenjak itu, saya kehilangan kontak. Cuma mengendus jejaknya lewat Friendster. Dia memberitahukan login e-mail dan password-nya sambil bilang, "Tolong nitip dipelihara prenster gue yak.. gue mo mengasingkan diri bentar." Dan kehidupan pun terus berjalan.... Berbagai pengalaman seru, munculnya teman-teman baru, menenggelamkan sosoknya ke dalam kegelapan masa silam (huekkk!!)... saya nggak peduli.

Oh iya, sebut saja namanya Lucy.

Tiba-tiba nama itu nongol di blog ini gara-gara semalam saya melihat syuting sinetron di gedung esde depan kantor, pas lagi beli rokok dan nasgor ecrek-ecrek. Pukul 12 malam, tapi di gedung sekolah dasar itu para kru sinitron masih riuh mempersiapkan adegan tentang dua suster (nggak pake ngesot kok, tenang aja!). Nah, salah satu pemeran suster itu wajahnya mirip banget dengan... Lucy!

Dalam hati saya: "Anjrit, nipu lagi tuh anak... bilangnya ke Taiwan nggak tahunya balik lagi ke profesi lama!" Saya pun ikutan menonton mereka. Berharap nanti bisa nge-gap dia, ghrrr...

Di sebelah saya adalah seorang bapak-bapak setengah baya. Tampangnya model-model birokrat gitu, tapi nyanklong tas cewek warna pink. Ganjen amat kaan?? Ngapain coba malem-malem gini ikutan nongkrongin sinetron! Buat pantes-pantesan daripada nggak ngobrol, saya bertanya: "Bapak ikutan di sinetron ini?"

"Enggak dek, saya lagi nunggu istri saya," dia menjawab dengan kalem.

"Oowh, jadi extras (figuran --Red.) juga?"

"Iyah," matanya mulai menatap ke saya dari atas ke bawah. Mungkin dia kagum ngeliat kombinasi kaos Jack Daniel's item dan celana panjang batik warna ungu yang saya pakai.

"Hmm, bukan yang itu kan Pak?" saya bertanya sambil nunjuk si "Lucy".

"Iyah, itu istri saya!"

"Lhoh.. kirain dia adalah temen saya si Lucy, hehe.. syukurlah! Ngomong-ngomong dia bukan bernama Lucy kaan?" kata saya, perasaan rada plong.

"Bukan," dia menjawab dengan intonasi yang menukik tajam, tatapan matanya terheran-heran. Saya terdiam sejenak. Dan setelah ngobrol basa-basi dikit, saya buru-buru kabur dari lokasi itu.

Dear Lucy, if you read this, please forgive me!

Monday, December 10, 2007

Peluit-phobia

Lagi-lagi, kejadiannya di Bogor (kali ini saya nggak pakai kata "kota hujan" soalnya nggak ada yang perlu diumpetin). Setelah beberapa lama, baru kali ini saya naik motor! Dan betapa nyaman naik kendaraan itu di Bogor. Lalu lintas nggak sepadat di Jakarta. Musuhnya palingan cuma angkot-angkot yang melaju dengan ogah-ogahan.

Motor bebek yang rada gres itu enteng banget tarikannya. Saya lupa mereknya apa. Yang jelas, itu motor ponakan saya, yang sekarang duduk di boncengan sambil ngomel-ngomel: "Kok bawanya nggak meyakinkan..."

"Aku tuh naik motor dari jaman kamu belom lahir taook!" saya mengungkapkan fakta yang membanggakan itu.

Dan karena kebawa mood, saya berusaha mengendarai motor itu dengan senyaman mungkin. Sebagai warga negara yang beradab, saya menaati setiap rambu-rambu lalu lintas, sopan di jalanan, nggak ugal-ugalan, dan memperlihatkan respek kepada sesama pengendara lain... sambil sesekali melontar senyum ramah ke teteh-teteh manis di dalam angkot sebelah itu (nggak pake njulurin lidah kayak biasanya.) Ah, udara Bogor sehabis hujan memang selalu sejuk dan nyaman....

Tiba-tiba... prittt, prittt!! Beberapa puluh meter di depan sana, di pertigaan itu, terlihat lampu-lampu senter merah berpendar-pendar. Ada banyak. Dan.. astaga! Sepatu lars warna putih, helm perak-biru... mereka bukan polisi cepek yang lagi gaya-gayaan. Mereka polisi beneran!

Dengan sigap, kaki kanan langsung nginjek rem. Motor saya belokkan ke kiri, ke parkiran di belakang beberapa gerobak penjual makanan. "Jes, turun dulu deh!" kata saya. "Lhah kenapa om, mo nelpon dulu?" kata ponakan saya cuek, sambil terus mencet-mencet henponnya. Dasar abege... dalam situasi segawat ini masih sempetnya main SMS-an, huh! Saya nelpon ponakan saya satunya lagi (yang udah punya SIM) buat njemput tuh motor.

Perlu saya jelaskan juga di sini, saya memang nggak pernah punya SIM dari sejak jaman dulu kala sewaktu masih tinggal di kampung halaman tercintah. Sewaktu kuliah, saya rutin mengendarai motor tiap hari, dan beberapa kali saya tertangkap razia motor yang ujung-ujungnya adalah saya musti meneruskan perjalanan dengan naik kendaraan umum (sambil megangin helm butut itu).

Dan melakukan prosedur evakuasi motor dari kantor polisi adalah proses yang lama, boros, dan menjengkelkan. Semua itu menimbulkan trauma yang disebut dengan "peluit-phobia". Pas lagi naik motor, tiap denger suara peluit, hati serasa berdesir-desir. Biarpun itu cuma suara peluit tukang parkir. Terus terang, saya jauh lebih nggak pede kena razia motor, dibandingin dengan razia katepe kayak dulu itu.

Buat pantes-pantesan, saya samperin gerobak terdekat. Ternyata, lagi-lagi, itu adalah gerobak martabak. Saya pesen satu, sambil iseng-iseng nanya: "Mas, itu lagi ada apaan sih, kok banyak banget polisi?"

"Oowh, mereka cuma ngatur jalanan, biar angkot-angkot nol tiga belok ke kanan. Udah bebeberapa hari ini kok mas. Memang sih, banyak yang grogi trus balik arah, dikira lagi razia. Ada juga yang kayak mas ini, pura-pura mo beli makanan sambil nongkrong-nongkrong dulu, hehe..," kata si mas martabak sambil ngaduk-ngaduk adonan bumbu. Anjrit!

Saya cepat-cepat nelpon ponakan II: "Nggak jadi, nggak usah ke sini. Ternyata bukan razia motor!" Saya ngumpat-ngumpat dalam hati.

Kenapa sih, di dunia ini harus ada mahluk bernama polisi!!!!@#@!!

Thursday, November 29, 2007

Sejarah Berdirinya Blog Ini


Alkisah, waktu itu terjadi perang antara Pangeran Diponegoro melawan Kumpeni. Para
combatant pengikut sang pangeran, yang rata-rata orang Jawa, membuka base-camp di sebuah ceruk geologis di utara Jogja bernama Goa Selarong. Tak jelas, kenapa mereka memilih tempat itu sebagai persembunyian setelah kabur dari sebuah dusun bernama Tegalrejo (yang artinya: crowded farm). Juga, kenapa tempat itu dinamakan "Selarong". Di film Pahlawan Goa Selarong sepertinya juga nggak dijelaskan epitimologi kata itu.

Perang Diponegoro konon berlangsung dengan sengit. Berbagai trik dan strategi gerilya legendaris, di antaranya
sapit urang (capit udang), yang mereka jalankan berhasil menewaskan tak kurang dari 15.000 tentara Belanda dan mengakibatkan kerugian materiil sebanyak 20 juta gulden (harga satu henpon nokia cdma second pada masa itu adalah 0,35 sen...*tapi jangan ditawar mulu ya ndah!*)

Oh iya, strategi sapit urang dimulai dengan pertempuran head-to-head antara pasukan musuh dan pemancing yang tugasnya adalah kabur ke belakang begitu pasukan musuh mendesak maju; dan begitu pasukan musuh masuk terlalu dalam, pasukan penjepit langsung menyerbu dari kiri dan kanan mereka. Gitu doang sih. Kalo kurang jelas, tontonlah film Braveheart!

Data mengenai perang ini sebeneranya cukup lengkap. Mulai dari kurun waktu peperangan (1825-1830), jumlah pasukan Belanda yang diterjunkan, periodisasi penyerahan dan penahanan sang pangeran, hingga tempat sang pangeran kharismatik ini dimakamkan. Semuanya bisa di-browse kalau kita mau.

Tapi saya nggak bisa nemu seberapa besar kekuatan pasukan sang pangeran. Berapa jumlah pasukan kavaleri di belakang beliau, berapa jumlah pasukan pejalan kaki, seberapa besar kerusakan materiil di pihak kita, dan sebagainya.

Dan yang juga penting, apakah benar pangeran kita ini (pas lagi sibuk berperang) ke mana-mana selalu menunggangi kuda kesayangannya yang bernama Gagak Rimang --mirip si Lucky Luke dengan Jolly Jumper-nya, Zorro yang menunggangi Tornado, atau Lone Ranger yang punya kendaraan bernama Scout.

Lalu bagaimana dengan deskripsi eneh si Chairil Anwar tentang "pedang di kanan dan keris di kiri" dalam puisi berjudul Diponegoro itu? Ribet kaan, megangin senjata tajam di tangan kanan dan kiri sambil mengendali kuda supaya baik jalannya!! hehe...

Saya cuma bisa membayangkan sang pangeran, duduk dengan gagah di atas si Gagak Rimang
, mengacungkan sebilah keris pusaka bernama Kiai Omyang. Ah, mungkin Mel Gibson bersedia kalau ditawari untuk memerankannya di film. Tapi.. enggak lah! Wajahnya kurang Jawa dan logatnya kurang medok... Mungkin si Tora Sudiro, dengan segala kemampuannya untuk memancing para abege berpacaran di gedung bioskop, yang lebih pas memerankan beliau.

...........

Tuesday, November 20, 2007

Selingan


Sore itu, di kota hujan yang lagi nggak hujan, di sebuah trotoar yang ribet karena terlalu banyak pejalan kaki melintas, saya berjalan sambil clingak clinguk nyari sesuatu tapi nggak tau apakah itu. Rada berat beban hidup saya, karena di pundak kanan nyangklong tas coklat kebanggaan yang isinya lima potong kaus dan dua clana pendek plus barang-barang stationary lainnya (lho?).

Sedangkan tangan kiri megangin kantong kresek ukuran medium berisi sekotak roti breadtalk titipan ponakan, tiga dompet ajaib (magic wallet) calon oleh-oleh buat dua temen saya si gemblung I dan gemblung II, martabak manis, dan sebotol madu pohon kapuk randu.

Saya lapar karena belum makan yang beneran dari tadi pagi --gara-gara tidur jam lima pagi dan bangun jam tiga sore. Dan sekarang saya berada di tempat yang nggak tepat. Trotoar yang berubah fungsi jadi pusat jajanan itu penuh dengan gerobak-gerobak makanan yang 90 persen di antaranya dilengkapi dengan kompor dan wajan (detail banget kan deskripsinya, hihi...). Ada tukang doclang, bubur ayam, sate padang, martabak manis dan... martabak telor!

Saya berhenti di depan salah satu gerobak. Trus, "Bang, bebek yang biasa satu aja yak!" kata saya ke si abang martabak, yang lantas menyodorkan bangku plastik kepada saya. "Silakan tunggu Mas," katanya, santun.

Di belakangnya ada sepasang cowok-cewek yang duduk-duduk di undakan teras pertokoan. Anak kuliahan sepertinya. Tiba-tiba, si cewek berdiri di sebelah saya. "Permisi Mas, boleh saya mengganggu sebentar?" ujarnya.

Dan tuh cewek (sebut saja namanya Lastri) pun memulai orasinya:

"Saya dari fakultas ilmu blah-blah-blah.. insetitut blah-blah-blah.. ingin melakukan penelitian tentang pola konsumsi pembeli martabak telor di Bridge Rogue (nama lembaga dan tempat saya samarkan --
Red.). Nggak keberatan kan Mas, kalo saya survei?"

Saya sedikit lega, karena dia bukan semacam pengganggu yang suka menawarkan bisnis em-el-em, atau cewek abegeh yang mo nawarin jasa em-el.... hush! Saya liat tampangnya manis juga. Ekspresi wajahnya campuran antara takut, kagum, dan rada memohon gitu...

"Boleh," saya menjawab sambil nyengir formalitas.

Tuh cowok menyodorkan sebendel kertas dan bolpoin, lalu dia mulai menulis.

"Boleh tau namanya siapa?" katanya sambil beringsut ke sebelah tempat duduk saya. Anak kuliahan, biar semanis apa pun pasti baunya kecut! hihi...

"Jimmy," kata saya (sambil siap-siap bilang "Morison" kalo ditanya nama lengkap).

"Usianya berapa Mas?" si Lastri bertanya, matanya kedap-kedip.

"Tujuh belas tahun," saya jawab dengan mimik sok-sok malu. Ehh, dia tulis beneran! Oon... "Mbak, saya kan bercanda! Biar gini-gini saya udah tuwir taook, hahaha.. Mbak kok penurut banget sih.. udah tulis aja dua tujuh ples-ples!"

Setelah itu, biodata lengkap mulai dari pekerjaan, penghasilan sebulan, masih jomblo ato udah nikah... semuanya terisi di list. Juga soal "berapa kali dalam sebulan mengonsumsi martabak telor", "telor bebek ato ayam", "kenapa milih telor bebek", "apa yang memotivasi pembelian martabak di sini", "dapet informasi dari mana bahwa di sini aja tukang jualan martabak", "orientasi rasa, merek, atau lokasi", "kalo di sini nggak jualan lantas beli martabak di mana"... dan sejenisnya.

Semua pertanyaan itu, dengan kata "martabak" yang diulang-ulang di setiap kalimat, membuat perut saya tiba-tiba kenyang. Serasa habis makan lima loyang martabak telor bebek edisi spesial! Jadinya, siapa ngerjain siapa!

Saya pun pamit ke mereka, setelah bayar dan ngambil martabak yang udah seprapat jam tergeletak di gerobak si abang.

"Dek, saya jalan dulu yak.. selamat berjuang!" tereak saya, trus masup ke dalam angkot (gaya amat kaan!)

"Iyaah, makasih loh, ngrepotin gini...," dia melambaikan tangan sambil tersenyum simpul.

Ah, berlalu sudah cobaan hidup...


***

Wednesday, November 14, 2007

Suddenly I Miss You

My goodness, now I can spell out these words again. I can't remember when the last time I called you in the middle of night just to say how much I thank to you, and how I would be missing you through this restless journey. I kept calling you, though it seemed it was too much for you. I will never regret it.

And now let's say it is the beginning of my never-ending midnight
call.

I am missing you now in the most peculiar way. The beauty of your luxurious crystal eyes, the touch of your soft skin and the warmth of your tears running down your honey lips when I kissed you goodbye. Should I beg you another one! I miss the misery and pain we shared as our only pleasure, the fear as our yearning, the dark clouds of our mischievious sunset, and the brightness of our unpronounced future. Arrggh.. let me be thrown back into the earth.

Dear you, wherever you are, I've never been so insecure as this time. Something will happen in the morning; you will be the only one to know what it is. But don't leave me any message to give a warning. Don't send me an e-mail. Don't send an SMS. Don't call me from the middle of a weekend traffic jam. And don't write any respond to this posting... I will call you at the first place, for Your shake!

___________
* Dear reader, please be willing to leave a respond if you are not God.

Sunday, November 11, 2007

Berubah!

"Lu sekarang keliatan lebih fresh," kata seorang teman saya, setelah beberapa bulan nggak ketemuan.

"Masak? Perasaan biasa-biasa aja kok. Malah dari tadi siang belom mandi, belom sarapan juga," saya menjawab sambil ngucek-ngucek mata, ngelirik jam di dinding itu (pukul empat sore!)

"Bener lho, keliatan gemukan dan putih... Lu narkoba ya?"

"Anjrit! apa hubungannya!"

"Iyah kayak orang abis keluar dari rehabilitasi narkoba! hihi..."

Saya nggak sempet ngeles dengan bilang bahwa pacar dia (yang gimbal kayak raksasa berambut api itu) jauh lebih gemuk dari saya --dan perlu dorongan semangat untuk berolahraga biar oversize di perutnya nggak kebanyakan.

Tapi saya cuma nyengir, nyadar bahwa tongkrongan saya sekarang memang keliatan rada nggak beres diliat dari sudut pandang tertentu.
Mungkin dipengaruhi oleh mentalitas yang rada menyimpang akibat situasi sosial dan ekonomi di sekitar yang kurang kondusif bagi eksplorasi verbal ke berbagai arah yang mendasari gaya perbloggingan saya seperti beberapa bulan silam... blah, blah, blah.... embuh lah!

Rambut saya udah nggak panjang lagi, tinggal sepundak sekarang. Baju nggak musti item. Malah, kemaren pas di Bandung, saya beli kaus warna ijo kamar mayat yang ada The Scream-nya si Edward Munch. Saya nggak fanatik dengan warna hitam, meskipun 90 persen baju dan celana saya, termasuk celana dalem, berwarna hitam.

Kata seorang temen baru, saya sekarang lebih rapi dan wangi (berkat parfum semprot yang baunya mirip-mirip eau de cologne 4711 itu). Nggak gampang bikin huru-hara kayak dulu, dan sekarang malah jadi mirip iblis yang bertobat! Aargh..... saya nggak bisa jawab, karena saya memang nggak tau kenapa.

Dan secara iseng, mereka pun mencoba menggali gosip di sekitar kehidupan saya, mencoba mencaritahu apa yang terjadi, nanya-nanya siapa cewek yang lagi deket dengan saya, masih suka jalan sama abege-kah, kapan mau menikah, dan sebagainya. Menarik sekali menonton orang-orang yang sedang menonton kita.

Mereka nggak pernah baca blog ini, dan saya nggak meminta mereka buat ke sini. Seandainya mereka baca blog ini, pasti sebagaimana kalian mereka bakal nanya: kenapa postingan-postingan baru di blog ini cenderung menyebalkan dan lebih ruwet daripada yang dulu!

Saya ingin menjawab dengan kutipan lagu Ozzy Osbourne, bahwa saya memang lagi going through changes.... bahwa perubahan adalah pitrah yang selalu melekat pada kehidupan manusia sejak zaman Adam dan Hawa... bahwa dampak daripada pemanasan global yang berpengaruh pada perubahan perilaku cuaca akhir-akhir ini ternyata juga saya rasakan dalam mood untuk mengetik asal-asalan seperti ini... dan seterusnya.

Itu semua alasan yang dibikin-bikin. Padahal saya sendiri nggak tahu kenapa! hihi... Udah ah, suara ayam berkokok... waktunya tidur!

----------------
* Postingan ini tercipta berkat dorongan secangkir kopi jekdi, dan iringan musiknya Moonspell.

Tuesday, November 06, 2007

Pengamen

Berikut adalah cerita yang konon, menurut gosip yang saya dengar, merupakan kisah nyata!

Pada suatu malam di sebuah taman di bilangan Jakarta Pusat bagian tengah rada ke timur laut, seorang pengamen duduk sendirian di sebuah bangku di bawah pohon angsana. Dia memeluk gitar kesayangannya, tatapan matanya kosong. Dia lagi gelisah. Duit di saku celananya tinggal 500 perak, sementara ada dua agenda penting yang mesti dia jalani malam itu, yakni makan dan tidur. Dengan duit cuma segitu, dia harus memilih: beli makanan pengganjal perut atau lotion anti-nyamuk.

Dia memutuskan untuk membeli item kedua. Biar perut keroncongan, yang penting kan bisa tidur lelap gak diganggu nyamuk, dan esok pagi bisa bekerja dengan kondisi tubuh yang bugar. Soal makanan, bisa ngutang nanti sehabis bangun....

Saya nggak mendengar detail cerita tentang bagaimana dia beberapa bulan kemudian bisa sampai tergabung dengan sebuah kelompok musik tenar. Rombongan ini terkenal di Tanah Air, dan para personelnya sering disyut di acara infotainment berbagai stasiun televisi. "Sebuah Cinderella story!" kata teman saya yang mendapat cerita itu dalam sebuah wawancara informal. Oh iya, nama grup musik tersebut kebetulan rada mirip dengan alamat blog ini (betapa menyebalkan!)

Menurut saya, itu adalah kejadian yang biasa-biasa aja. Nggak ada yang ajaib dalam perubahan nasib seseorang. Dari miskin tiba-tiba jadi kaya atau sebaliknya, itu kan hal yang lumrah! (Kalau misalnya tiba-tiba ada rombongan mahluk alliens mendarat di bumi, di sebelah makam pahlawan Kalibata, trus mereka main-main dengan alat radioktif yang bisa memutasi sel-sel tubuh manusia di sekitarnya dan tiba-tiba tampang saya berubah jadi jauh lebih ganteng daripada Orlando Blum, baru itu disebut keajaiban, hihi...)

Tapi aargh... banyak yang terlalu harfiah mengikuti cerita semacam pengamen Cinderella itu, cerita dramatis yang seringkali mengundang antusiasme. Dengan keterbatasan ruang pemikiran, banyak anak kampung sebelah yang menganggap bahwa "keajaiban" cuma bisa diraih dengan jalan pintas! Mereka ingin meraih sukses yang sama, dengan mengimitasi jalan hidup sosok-sosok idolanya. Dalam benak mereka, salah satu jalan yang mulus untuk tenar, keren, kaya, sekaligus keliatan romantis and nyeni
tapi nggak musingin dan bikin capek, dan ujung-ujungnya gampang ngerayu cewek, adalah dengan menjadi anak band!

Hasilnya, kita pun buanyak sekali mendengar "musik" dengan sound (dan lirik cengeng) yang mirip-mirip setiap kali menyalakan TV, masuk ke tempat belanja, naik angkutan umum, berhenti di lampu merah, atau masuk ke halaman sebuah sekolah menengah yang murid-muridnya lagi mengadakan pentas "seni"... Ah, selamatkan negeri ini dari polusi suara! Bangkitlah Indonesiaku! Ganjang malingsia ! (gak nyambung babarblas, hihi..)


***

Saya nggak alergi dengan musik Tanah Air. Buktinya, saya udah masang lagu Koil terbaru ("blacklight shines on"), satu album penuh, di jaringan server kantor dan merekomendasikan kepada temen-temen saya di sini untuk mendengarkannya.

Thursday, November 01, 2007

Pemanasan global

Pernah naik kereta rel listrik Jakarta-Bogor? Buat yang belum tahu, ada dua tipe KRL di jalur ini, yakni kelas ekonomi dan AC/eksekutif. Perbedaan: yang ekonomi harga karcisnya Rp 2.500, kalau AC harganya Rp 13.000. Kereta ekonomi mampir di 26 stasiun, sedangkan AC cuma di tiga-empat stasiun dari keseluruhan stasiun. Oh iya, sebagai informasi tambahan, kereta Jakarta-Bogor ini juga melayani rute Bogor-Jakarta loh (informasi yang konon nggak penting-penting amat tapi musti dipaparkan juga di sini!)

Persis dengan yang kalian bayangkan, kereta ber-AC lebih nyaman. Selain karena penumpangnya nggak berjejal, tempat duduknya empuk, lebih bersih dengan interior yang mirip kereta di Jepang, pakai pendingin udara, nggak digerecoki pedagang asongan and pengamen (saya pribadi kurang respek dengan mereka karena mereka nggak pernah bawain lagu black metal), pintu automatic selalu tertutup jadi kalaupun ada copet masuk pastilah copet yang lebih bermodal... juga melaju lebih kencang. Segalanya berjalan lancar dan tenang. Saya sering melihat penumpang terlelap tidur dengan damai.

Sedangkan di kereta ekonomi, kehidupan berjalan lebih keras. Bangkunya keras, jendela banyak yang pecah, pintu nggak ada yang berfungsi. Pengamen dari berbagai aliran musik (tapi nggak ada yang black metal) mondar-mandir menyuguhkan beragam polusi suara. Pedagang asongan berteriak-teriak dengan vokal yang parau; dari pedagang minuman, makanan, rokok, peniti, korek api, bolpoin, bantal tiup, DVD bajakan, alat-alat rumah tangga, tenda pramuka, hingga perahu karet... (yang terakhir-terakhir saya ngibul).

Saya sempat berpikir: mungkin karena alasan itulah harga karcis kereta ini cuma Rp 2.500. Kita bisa menyisihkan Rp 10.500 kita untuk belanja barang-barang tadi atau ngasih tips buat pengamen. Pilihan hidup memang macem-macem kok.

Soal kepadatan penumpang, itu yang paling ngetop. Saking padetnya, banyak penumpang yang bergelantungan di pintu karena nggak kebagian space buat berdiri di dalam. Bahkan ada yang overakting dengan nongkrong di atas atap gerbong. Mereka bukan sedang berdemo, ngambek atas situasi nggak kondusif di dalam gerbong, atau mau ngintip cewek mandi di kali sebelah rel, atau putus asa dengan kehidupan menyedihkan yang mereka jalani, atau dorongan religius untuk lebih dekat dengan yang di atas... bukan, bukan kayaknya. Sepertinya cuma buat gaya-gayaan aja sih.

(Di lubuk hati yang rada dalam, saya kadang ingin melakukannya juga, hihi... Bayangkan, di sebuah sore yang cerah, duduk anggun di atap kereta yang melaju kencang, diiringi "Ride of the Valkyries"-nya Richard Wagner.. wuihh!)

Situasi di dalam gerbong sendiri... nah! Dari tadi sebenarnya saya mau bercerita tentang itu. Tapi berhubung saya lagi susah buat fokus, letih sehabis perjalanan Bogor-Gondangdia-Sabang (buat beli lunpia)-Sarinah-Kalibata (naik KRL juga), cerita malah jadi ke mana-mana!

Begini, buat kalian yang udah lulus dari sekolah dasar pasti tahu alasan kenapa pada saat gerbong KRL ekonomi penuh dengan penumpang, udara menjadi lebih pengap, gerah, panas.... nggak selega ketika jumlah penumpangnya sedikit.

Kepadatan penumpang berbanding lurus dengan peningkatan suhu udara (tingkat local warming) di dalam gerbong. Semakin banyak jumlah hidung yang mengisap oksigen di situ, semakin sedikit ketersediaan oksigennya, dan kita pun jadi semakin sesak bernapas.

Keadaan ini diperparah oleh tingkah beberapa penumpang yang salah gaya: merokok kebal-kebul di tengah-tengah sesaknya penumpang yang bergelantungan, ngobrol dan ketawa kenceng-kenceng sampai menimbulkan sedikit stres penumpang lainnya, atau cara berpakaian mbak-mbak di sebelah yang bikin kita menyedot lebih banyak oksigen. Sampah berupa kulit jeruk, bungkus permen, kertas, puntung rokok, botol akua dan sebagainya berceceran di mana-mana. Bikin kita tambah puyeng.


Mungkin, seperti gerbong kelas ekonomi itulah situasi bumi kita sekarang. Bedanya, di gerbong KRL kita bisa bergelantungan di pintu atau naik di atas atap, sedangkan di bola dunia (globe) kita nggak bisa ke mana-mana. Kalaupun bisa kita jalan-jalan keluar dari atmosfer planet ini, kita mesti membawa persediaan oksigen dari sini.

Dan kini para pemimpin dunia pada ketar-ketir memikirkan pemanasan global (global warming), bikin konferensi, protokol ini-itu. Majalah tempat saya bekerja juga ikut-ikutan sok sibuk bikin edisi khusus soal ini.

Dan sekarang saya,
right here and right now in this very moment, pun sesak napas gara-gara nglembur kerjaan yang tiba-tiba berjibun! Tapi sumprit, saya pribadi tetep menganggap bahwa global warming ini sebenarnya persoalan biasa. Frase "bumi makin panas" juga sudah kita dengar berpuluh tahun silam.
There always be the bright side of anything, rite?

Dilihat dari hubungan antara jumlah populasi dan peningkatan suhu udara itu, ada dua penyebab utama terjadinya pemanasan global:
1. memang sudah takdir
2. penduduk bumi pada terlalu rajin bikin anak

Udah ahh.. I'll be here again very soon, and now let me jump back to my files... 11 more to go. Damn! F...k you, you f....ing f....k!!


Wednesday, October 24, 2007

Solo Travelling

Sebelumnya saya akan menjelaskan definisi solo travelling, yakni: jalan-jalan sendirian... ke Solo.

Banyak kegembiraan yang saya nikmati dengan bepergian sendirian naik wahana transportasi umum tanpa membawa kendaraan pribadi, tanpa diperbudak rencana, tanpa dibelenggu oleh jadwal perjalanan maskapai anu, kereta anu, atau armada bus anu; tanpa barang bawaan yang berat dan mencolok (misalnya tas gede/ransel, kardus, kantong kresek); tanpa merepotkan orang lain dengan mengajak salah satu pacar kita, teman, sodara, ponakan, dan sebagainya. Certainly, kesempatan buat mendapat kemawahan seperti ini kebanyakan hanya dimiliki oleh kita-kita yang masih jomblo!

Membingungkan? Terlalu bombastis yak?? Suka-suka saya dunk ah! Postingan ini adalah salah satu bentuk aktualisasi diri saya, menjelaskan betapa acara jalan-jalan saya kemarin itu tergolong lumayan nge-rock. Yang jelas, dari situ, saya mencatat beberapa hal penting yang mesti kita perhatikan agar perjalanan kita lancar tanpa intervensi yang gak perlu.

Yang perlu kita lakukan adalah... upss.. tunggu, "perjalanan" yang saya bahas di sini adalah perjalanan darat jarak jauh, semacam Jakarta-Solo kemaren itu. Jadi buat kalian yang berniat melakukan perjalan pendek, semisal dari Jakarta ke Bandung, Cirebon, atau Bogor, nggak perlu baca manual ini deh, hihi..

Okay, dari perjalanan solo saya kemarin itu, berikut adalah beberapa saran yang mungkin bisa dijadiin referensi, yakni:

1. Siapkan duit.
Memang menyebalkan, ternyata duit masih menjadi elemen penting dalam kehidupan yang liar ini. Karena itu, rajin-rajinlah menabung. Siapkan dana khusus perjalanan minimal dua kali lipat dari rencana anggaran pulang-pergi kita, termasuk ongkos buat nginep, ngopi, makan, minum, buang air...

2. Tetapkan tempat atau kota tertentu tempat kita mungkin bakal singgah buat menginap.

3. Tapi jangan terlalu ambil pusing soal waktu!
Berbulan-bulan kita bekerja keras mengikuti ritme yang ditetapkan lingkungan sekitar kita. Dikejar-kejar deadline dan sebagainya. Nah, sekarang waktunya liburan, masak musti taat jadwal juga, begitu kaaan?

4. Bawa barang secukupnya.
Dengan membawa tas ukuran kecil (bukan carrier atau backpack gede), kita bisa bebas bergerak. Nggak capek, selain lebih keren juga. Untuk itu, jangan terlalu banyak membawa baju. Cukup beberapa lembar kaus, sebisa mungkin yang warna hitam biar lebih "awet cuci". Lalu celana jins, merangkapi celana pendek. Pakaliah juga celana dalem bahan kertas yang model sekali pakai (banyak dijual di supermarket terdekat loh!), biar enteng dan nggak usah nyuci. Tapi buat para cewek, saya nggak tahu apakah ada bra berbahan kertas seperti itu. Kalau ada, saya anjurkan untuk memakainya.

Untuk menghemat space dalam tas kita, sebisa mungkin semua pakaian itu ditaruh dalam bentuk gulungan-gulungan padet (mirip sosis Solo). Dengan begitu, akan banyak ruang buat kita menaruh sikat gigi, odol, sabun, parfum, dan sebagainya. Usahakan membawa tas yang banyak kantongnya, biar gaya aja sih, haha.. (tadinya pake "huhu..." tapi diprotes sama Anggun)

5. Jangan berpenampilan mencolok.
Dengan berpenampilan biasa-biasa aja, sebagai man on the street, kita akan lebih aman dari incaran para bandit. Jadi, jangan berpakaian yang aneh-aneh di tempat asing. Ingat, kejahatan bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena penampilan. However... kita juga nggak perlu terlalu ekstrem dalam "penyamaran" itu. Misalnya, mentang-mentang lagi di Jogja, kita mondar-mander pake kain batik dan blangkon biar dikira prajurit keraton... Nggak perlu seserius itu kok. Biasa-biasa aja lah!

6. Komunikatif, tapi jangan terlalu banyak omong dan tanya-tanya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah terminal/kota yang asing bagi kita, jangan langsung clingak clinguk panik dan membaca-baca direktori trayek, atau jongkok trus menggelar peta mudik di lantai. Cara seperti itu akan membuat kita dirubung para calo, mirip seorang koruptor yang lagi dikerumunin wartawan infotainment.

Sebaiknya kita langsung mencari sudut tempat kita bisa berhenti dan ngobrol santai dengan seseorang. Misalnya, toilet, warkop atau penjual minuman di tempat yang rada lega. Di situ biasanya mereka dengan sukarela akan menunjukkan jalan yang benar. Di sudut yang gak mencolok, kita bisa mengamati situasi untuk menetapkan rencana selanjutnya. When things get hot, stay cool!


Kita juga bisa menjalin keakraban dengan penumpang sebelah kita. Lalu, dengan teknik investigative reporting standar, kita menggali informasi penting seputar ongkos, waktu tempuh, dan sebagainya. Tapi ingat, jangan serta merta melontarkan pertanyaan nggak perlu semacam "Gelangnya bagus, beli di mana dik?" "Hobinya apa mas?"... atau "Mbak, ini bus menuju Jakarta kan?" --padahal di jidat bus yang sedang kita naiki itu tertulis jelas gede-gede "Bandung-Jakarta".

7. Jangan menawarkan minuman kepada penumpang sebelah.
Meskipun penumpang di sebelah kita megap-megap dehidrasi, jangan tawarkan minuman kepadanya. Kalau itu yang terjadi, lebih baik Anda langsung pindah ke sebelah penumpang yang lebih sehat (daripada dituduh mau berbuat aneh-aneh, gitu loh).

Udah sementara cuma itu yang saya simpulkan. Ada yang pingin protes?

Tuesday, October 16, 2007

Pulang jadinya....

Gara-gara iseng pengen ikutan ribut2 pulang kampung (setelah berhari-hari berita di tipi nongolin orang rame2 mudik itu) saya langsung nelpon ke agen bus buat mesen tiket. Si operator bilang, masih ada satu tempat duduk. Bangku nomer 2, artinya saya dapet tempat paling depan, kesempatan menikmati pemandangan yang widescreen! Harga tiket masih seperti biasa, nggak naik sebagaimana diberitakan di koran dan tipi.

Berbekal sebuah tas cangklong kulit warna coklat kebanggaan saya --yang isinya sebotol sampo, sabun muka, odol, sikat gigi, parfum edete merek gunung es, deodorant cap kapak, cat kuku item, notes transtipi, bolpoin, rokok2, baju kaus warna item tiga lembar, satu hem garis-garis (siapa tau di kampung ada yang mau ngajak kondangan, hihi..), daleman jenis waste-away, dan sebagainya-- saya berangkat dari home-base saya di Bogor Barat, tepat pukul sembilan seprapat. Dan ternyata, saya tiba terlalu cepat.

Bus baru akan berangkat jam dua siang. Kalau saya balik lagi ke rumah, bisa jadi saya bakal ketiduran. Waktu luang empat jam itu saya isi dengan klayapan di mal, bengong, ngopi, beli dompet baru yang berinisial nama saya (buat gantiin dompet gambar tengkorak yang udah mulai menyebalkan itu).

Ah, akhirnya habis juga waktu luang saya itu. Bus jadi berangkat jam setengah tiga. Perjalanannya cepet, datar-datar saja, nggak ada yang seru, nggak macet seperti gambar-gambar yang ditayangkan di tipi itu! Bisa jadi, berita mengenai kepadatan arus lalu lintas di jalan tol anu, pasar tumpah di daerah anu dan sebagainya itu cuma akal-akalan media massa elektronik buat naikin rating yah, hihi... (bersambung)

* Warnet tempat saya ngetik ini lumayan bagus, ber-AC, layar LCD, koneksi cepet, boleh ngrokok, tapi... software bluetooth-nya nggak ke install bagus. Jadinya, foto2 terpaksa menyusul belakangan yaa, huhu...

Wednesday, October 03, 2007

I'm dreaming of a white Lebaran....

Pada setiap penghujung bulan puasa seperti ini, saya selalu kehilangan sesuatu. Ada semacam kesedihan yang mengharu biru. Dan semakin hari, saya memang jadi semakin susah menyambut bulan Ramadhan ini dengan penuh sukacita (sebagaimana ciri orang-orang beriman, hihi..). Bisa jadi, karena puasa selalu bermuara pada... Lebaran!

Mood saya kali ini adalah memandang Lebaran sebagai belenggu tradisi yang menyebalkan. Kenapa harus ada acara seperti ini?? Okay, biar adil, here is the ups and downs....

Sisi positip Lebaran:

1. Dapat merasakan "hikmah puasa", setelah sebulan penuh menjalani ritual biologis dengan penuh keprihatinan, pada hari pembalasan itu kita bahagia karena boleh makan, minum, merokok di mana pun dan kapan pun tanpa takut berdosa kepada Tuhan ataupun sungkan kepada calon mertua. Boleh makan ketupat sayur bikinan nenek sampai perut kembung.

2. Merasakan nikmatnya menjadi sosok yang kembali fitri, bersih dari segala dosa dan utang. Gejala yang paling jelas: pikiran jadi ringan melayang-layang karena dompet rada tebel setelah dapet THR, pake baju-clana-sepatu baru, nenteng henpon baru, kamera baru.. ups.

3. Dapat kesempatan bersilaturahmi dengan kerabat dan handai tolan, menemukan aktualisasi diri di kampung halaman. Misalnya, setelah berbulan-bulan bekerja keras bagai kuda di Ibu Kota (Koes Plus banget yak!), kita bisa petentang petenteng di hometown kita. Mondar-mandir pake mobil kinclong di jalanan mulus dan bersih yang biasanya senyap itu, berjubel di tempat jajanan enak khas daerah masing-masing. Senyum ceria mengembang di mana-mana.

Adapun sisi negatipnya ialah...

1. Menimbulkan kesedihan buat yang gak bisa pulang ke kampung halaman padahal sebetulnya pengen. Setiap pertanyaan "pulang kampung gak?" dirasakan sebagai tikaman yang menghunjam ke ulu perasaan. Bisa karena alasan ekonomis, seperti keluarga Mas Maman si tukang rokok di sebelah kantor itu. Bisa pula karena.. ah sudah, sudah! Saya nggak mau curhat di sini.:">

2. Udah itu doang, saya gak bisa mikir yang lebih banyak lagi. Saya nggak bisa manjang-manjangin postingan ini, huhu....


****

Saya sendiri sebenarnya ingin sekali pulang berlebaran di kampung halaman, bertemu kedua orangtua tercinta. Bersama-sama ke lapangan deket rumah buat beribadah. Sungkem. Menikmati canda ria dengan para saudara, ngobrol ngalor ngidul cela-celaan. Duduk di seputar meja yang di atasnya terdapat sebarisan toples berisi aneka cemilan yang dibikin sendiri sedari kemaren (tapi kacang bawang itu rada gosong gara-gara ibu nggorengnya sambil ngantuk....) Sirup prambosen warna merah dengan air yang hangat. Lalu, lontong opor ayam lengkap dengan segala elemen pendukungnya.... Dan sorenya menyambangi tetangga, teman-teman sekampung, besoknya bertandang ke para famili... But life must go on, rite?

Tuesday, September 25, 2007

Welcome back !

Sehubungan dengan agak pulihnya kondisi spirit saya, setelah beberapa bulan belakangan saya tercampak ke situasi terang benderang yang menyilaukan, saya kembali melongok ke ruangan yang sempit, lembap, dan muram ini, hihi...

Bisa jadi, di antara kalian ada yang kenal dengan saya di dunia nyata, menatap saya dengan sedih, geleng-geleng kepala... Lalu ada yang mikir: "Pasti gara-gara dia tuh!"

Sama sekali enggak loh! Ada beberapa hal yang bikin jari-jari tangan saya enggan memencet keyboard PC ini.. that's all.

Beberapa pergeseran di sekiling mungkin bikin kita ngerasa kehilangan kenyamanan. Kadang kita ingin melihat sesuatu atau seseorang sekeliling kita sebagaimana yang kita kehendaki, as usual, dan merasa seperti terancam tsunami manakala salah satu atau seseorang di sekitar kita berubah.

Kalau saya keliatan berubah, please forgive me. But bro and sist, believe me that I am still the same hungry and lustful creature wandering around this material world. Ever heard about devil's day off?? Huehuehe.... My friends and lovers, I still love you all....

Dan cukup sekian kata sambutan saya yang menye-menye!


***

My last 42 minutes phone call:

"Ada apa? Semalem dua kali missed-call...."

"Ooh, gak ada apa-apa. Tapi temenku mainin handphone, dia tertarik dengan nama "Burung" di list itu trus iseng maen pencet telepon..."

"Yowis, kirain ada sesuatu... Gimana baik-baik aja kan?"

"Gak papa, gak ada sesuatu kok."

"Yaudah kalo gitu, bye."

"Okay, thanks."

(Dear all of you knowing who is he/she, sekali lagi maaf kalau saya seperti kehilangan energi marah saya. But things must be done in the right instance, rite? I have my own plan. Tapi.... anyone of you can guess who is he/she? huahahahaa....)

Wednesday, August 29, 2007

Wednesday, August 01, 2007

rayuan gombal (2)


kalau semua bidadari itu semanis kamu

maka aku bakal rajin beribadah
biar masuk surga




Thursday, July 26, 2007

Jablay Darat

Saya minta maaf kalau tiba-tiba ada adult content nongol di blog ini. Saya memang suka nggak bisa mengendalikan diri. Maka, untuk menghindari wacana moral yang berlebihan, saya menyarankan kepada kalian yang ngerasa belom dewasa bener agar baca postingan saya sambil merem. Karena saya nggak tau apakah kata-kata saya dianggep cukup senonoh menurut pandangan kalian. Contohnya adalah yang sekarang ini.

Dari kemaren saya udah mau bikin postingan ini, tapi selalu kepentok pikiran: jangan-jangan saya dipandang sebagai aktivis kegiatan anti-moral yang sekarang lagi numbuh subur bak jamur di musim duren. Dan mentang-mentang tongkrongan saya lumayan mirip James Dean jaman muda (kalo mau potong rambut), saya dianggep sebagai "Rebel without a Cause"!

Saya memang suka kebebasan. Tapi yang perlu Anda ketahui, saya nggak pernah menyarankan kegiatan "pembebasan" lewat aksi fisik semacam menjadi freedom fighter. Saya nggak pernah bercita-cita merekrut orang-orang buat mendirikan Laskar Maksiat, misalnya. Pembebasan hanyalah untuk saya sendiri... no one but ourselves can free our minds. Buat kalian, terserah kalian sendirilah.

Apalah artinya saya coba! Jomblo narsis sok pinter, kurang kerjaan, tukang ngetawain orang-orang yang salah gaya... puas? puas??

Maka dari itu saya nggak menyarankan Anda untuk mengubah attitude, cara pandang, dan kesan yang timbul di benak Anda tentang saya. Terserah kalian menganggap saya terlalu polos, terlalu cute, ganteng, terlalu kalem, anggun dan berwibawa. Itu hak kalian dan saya nggak akan protes.

Aarrgh.. kaan?? Kepanjangan basa basi saya! Sekarang saya jadi lupa tadi mau ngetik apa tentang jablay darat... mau ngambil angle yang mana. Dan..... sekarang saya udah lemes banget, udah mulai subuh pula (di sebelah mulai kedengeran suara2 orang ngaji). Nanti aja deh kapan-kapan saya bikin postingan beneran tentang cewek malem itu. Janji.

Ciao!

Friday, July 20, 2007

Jablay Terbang

Bukan! Saya bukan mau ngatain seseorang. Postingan ini gak ada sangkut pautnya dengan kalian semua. Dan saya mau menulis ini karena saya yakin banget bahwa dua mahluk "jablay" itu ga prenah browsing internet apalagi buka blogspot saya. Tapi ada dua ya?? Exactly!

Yang pertama adalah seorang cewek malem yang beberapa hari ini sering saya lihat di pertigaan dekat tempat saya bersarang. Nongolnya selalu sekitar tengah malam (karena itulah dia disebut "cewek malem" whatever she does for a living.) Saya akan bikin postingan soal dia kapan-kapan deh.

Yang kedua --kalo dipikir-pikir masih nyambung sih-- adalah mahluk halus yang konon menggentayangi temen saya tadi malam di deket pertigaan. Teman saya yang tukang potret itu jadi rajin mampir ke tukang rokok pertigaan, setelah saya beritahu soal keberadaan cewek malem tadi. Nyambung kaan?

And here is the story...

Semalem saya nyamper ke tempat "my formerly lovely bule Baduy" di daerah Tebet. Doi baru datang dari Australia hari Minggu kemarin, setelah beberapa tahun nggak berliburan ke Tanah Air. Kita pun bercanda dengan riang gembira, melepas rindu membara, mengenang masa lalu yang cerah ceria, melupakan hidup yang penuh derita.. apaan coba!! hahaha...

Nah, begitu perut kerasa laper, saya baru nyadar... udah jam tiga pagi! Saya buru-buru pamit, pulangnya mampir makan di indomi Pancoran, sambil bawa tentengan kantong kresek isi jajanan berupa coklat monggo, kacang atom, dan beberapa kaleng bir item yang saya beli di sirkel-key, oleh-oleh buat temen kantor (penting ga sih diceritain?). Lalu saya naik angkutan preman, turun di sebelah TMP.

Sesampai di depan gang, saya mulai merasakan suasana mencekam. Bukan karena lampu jalan banyak yang mati dan di sepanjang jalan itu memang rimbun dipenuhi vegetasi. Bukan pula karena letaknya persis di belakang tembok kuburan pahlawan. Tapi... anjing! Bisa-bisanya tiga anjing nongol sekaligus di jalanan itu. Biasanya kan cuma satu rada cerewet, dan kadang saya tendang pake sepatu boot kalo lagi iseng kumat, hihi..

Itu anjing tumben-tumbenan pada ngeliatin saya doang. Keliatan rada takjub gitu. Sampai saya berjalan 20-30 meter, mereka masih pada nengok ke arah saya. Dan cara mereka menatap itu mirip dengan para penduduk sebuah dusun yang sunyi, duduk-duduk di tepi jalanan pada sore hari, tiba-tiba mendapati ada orang asing berjalan melintas tanpa bilang permisi.

Beberapa menit berjalan, akhirnya di depan pertigaan kecil di depan sana, tepatnya di depan warung rokok si Maman yang buka twenty-four-hours-a-day, saya melihat kerumunan warga setempat. Mereka kira-kira berjumlah lima orang (maaf kalo lagi tanggal tua gini matematika saya buruk, jadi "lima" aja pake "kira-kira", hihi.. --Red.). Mereka mengalihkan pandangan ke arah saya begitu saya mendekat.

"Gus, piaraannya nongol tadi!" seorang di antara mereka berteriak rada antusias.

"Naah, untung lo dateng. Ayo jalan bareng ke kantor!" kata temen saya yang tiba-tiba terlihat di antara mereka.

"Ada apaan??"

"Itu tadi ada putih-putih terbang dari sono noh, trus turun di tanah kosong belakang gedung!" yang lain menimpali sambil nunjuk-nunjuk ke arah jalanan menuju kantor saya.

"Ooo," kata saya, sambil sok-sok menghela napas panjang, "Memang sekitar pohon kelapa di SMP itu rada gawat. Kemaren ada anak nongkrong lari terbirit-birit ngeliat kuntilanak di situ, huhu.."

Terus terang saya sebenernya belum pernah bertatap muka dengan jin yang letaknya di situ. Cuma kadang ngecium bau kenanga dan kepala kerasa rada nyut-nyut pas di situ. Begitu doang, dan gak selalu. Cahaya terbang itu, saya juga pernah ngeliat dari kamar ibu kos.

Percaya dengan yang gituan? Saya tidak percaya dengan yang gituan. Tapi saya percaya takhayul! Dan saya percaya juga, mahluk semacam itu gak bakal nyekik leher kita kayak di film-film horor murahan yang suka nongol di bioskop 21, hihi... Mereka cukup tampil secara audio/visual, atau bau-bauan. That means a lot of energy from their side, dan sebagainya. Jadi ngapain takut!

Akhirnya, si Tongki temen saya itu berjalan di sebelah kanan. Langkah kaki rada mengendap-ngendap, mirip anak kecil yang baru pertama kali masuk ke "rumah hantu" di pasar malem. Di pundaknya tergantung tas kamera ukuran sedeng.

"Memang sengaja mau motret hantu?" tanya saya.

"Syalan, gue dari liputan. Tadi mampir ke situ ngobrol ama mereka bentar.. ehh nongol tuh mahluk. Yang ngeliat banyak kok, bukan cuma gue doang!"

"Pasti lo demen ke situ gara-gara ada jablay hotel Kaisar yang suka nongkrong di situ, hihi... dan sekarang malah nemu jablay terbang! Ngomong-ngomong, biasanya tuh dia ada di pohon kelapa sebelah kanan kita ini loh!"

Dia langsung pindah ke sebelah kiri saya.

"Nah, biasanya dia landing di sebelah kiri kita ini," kata saya sambil nunjuk ke tanah kosong penuh semak belukar di sebelah kiri, dengan gaya niru-niru Pak Leo Lumanto.

"Anjrit!" dia berteriak sambil matanya melotot, bersungut-sungut...

Ended!



Moral Cerita:

Gak ada! Sebagaimana biasanya, cerita ini gak pake moral, ngetiknya juga gak pake otak.... Yang jelas, saya akhirnya bikin ID baru buat Yahoo!Messenger saya: jablay_terbang. Silaken di-add yak!

Monday, July 02, 2007

Lumpurnya kenapa (lagi)?


Sekuel dari bencana di Sidoarjo itu memang nggak semengerikan dalam bayangan saya setahun silam, ketika saya bikin postingan tentang lumpur Lapindo di
blog saya yang dulu. Rentetan kejadiannya, ternyata, cuma berlanjut di sekitar persoalan ganti rugi tanah buat sodara-sodara kita yang jadi korban, lempar-lemparan tanggung jawab di antara para capitalist dan authority, lalu peristiwa "crying president"... huh!

Tapi tetap saja.. cuma sedikit di antara kita yang menyoal "teknologi tampon" yang musti dipake buat mengakali bocoran itu (mother nature lagi mengalami menstruasi, hihi). Cuma sedikit yang menaruh perhatian pada temuan tentang retakan sungai purba di lokasi tersebut. Juga, yang mempersoalkan berapa kira-kira biayanya, dan... seberapa besar kemampuan anak bangsa kita dalam memanfaatkan teknologi paling modern untuk mengatasi bencana ini.

Lhah, tapi kan kita udah modern banget!

Liat aja di pameran komputer dan telepon seluler di Jehacece, Jakarta, beberapa waktu lalu. Antrean mobil pengunjung sampai bisa menimbulkan kemacetan luar biasa di sekitar lokasi. Sepertinya gede banget jumlah transaksi di situ. Gede banget anu kita, upss,, antusiasme kita terhadap teknologi wayerles, triji, dan sebagainya...


Bisa jadi, dalam agama baru di masyarakat kita yang bernama "modernism", henpon dan leptop canggih adalah ajimat yang musti dipunyai buat meningkatkan spiritualitas seseorang (dan kitab sucinya adalah manual book serta berbagai artikel yang mengulas teknologinya..).

Di antara Anda ada yang jadi penganutnya?
That's okay... selama kalian juga nggak mengusik kepercayaan tradisional saya sebagai penyembah pohon, hihi...

Tapi saya perlu menekankan bahwa "menguasai teknologi" kadang memang beda banget artinya dengan "menguasai pengoperasian peranti berteknologi". Karena itulah, si Adjat, tukang rokok di depan kantor saya yang sekarang berubah jadi rada tulalit gara2 telinganya sering disumpal pake earphone yang menjuntai dari henpon-nya, belum tentu bisa dibilang "menguasai teknologi multimedia"... Itu menurut saya...

Jadi.... anggaran buat beli henpon dan leptop baru itu mendingan kita tabung.. sebagai persiapan buat dana pendidikan anak cucu kita kelak, supaya di abad mendatang mereka jadi orang-orang yang pinter di bidang pure science, lalu menguasai teknologi yang lebih useful daripada cuma ngulik henpon, dan berhasil menemukan cara yang pas buat mengakali semburan lumpur Lapendos itu. Begitukah? Tepat sekali.

(Bisa jadi, ini adalah argumen yang paling gak nyambung di antara seluruh penjuru blog! Tapi ah, masuk akal banget kok. Lagian, suka-suka gw dunk, wong ini blog gw sendiri, huahahaaa....)

Monday, June 25, 2007

Losing My Kuskus v.2

Kali ini bukan kuskus beneran. Saya bercerita tentang seorang anak manusia... bener-bener manusia (Homo sapiens sapiens), yang mendatangi saya beberapa bulan lalu. Nah kenapa saya menyebutnya "kuskus", bukan binatang imut lain semisal berang-berang, kelinci, atau cerpelai? Suka-suka saya dunk! hihi... Reasoning: kejadiannya mirip-mirip dengan ketika saya nemu kuskus di kantor itu. Jadi ada koherensinya.

Ceritanyaa.... ahh kelamaan!

Langsung aja, poinnya adalah saya kehilangan kontak dengan seseorang; dan saya merasa perlu memastikan bahwa dia dan orang-orang di sekitarnya dalam keadaan baik-baik saja. Demi menghindari fitnah, saya nggak akan menyebut nama orang ataupun lembaga tertentu. Jadi kalian boleh juga menganggap this is not real!

Adapun ciri-ciri "kuskus" yang saya maksudkan adalah:

* Tinggi badan kurang lebih 156,1 sentimeter, berat sekitar 45 kilogram (50-an kalo pas kenyang). Kulit sawo mateng banget. Rambut lurus tebal rada berlekuk. Muka bulet rada jajaran genjang kalo pas nyengir. Bodi cenderung gampang montok. Usia sekitar 23 tahun pada akhir bulan ini (di prenster dia tulis 20 tahun!). Jenis kelamin: cewek (may it be... bisa jadi... sepertinya... kayaknya... soalnya saya belom ngecek sampe segitunya, hihi.) Another thing: she likes to sing.. and being a low-casted drama queen!

Kalau di antara kalian ada yang menemukan sosok anak manusia dengan ciri2 seperti itu, silakan kontak langsung ke e-mail atau Friendster saya. Saya sungguh khawatir, kecerdasannya dalam retorika yang memikat itu kadang bisa menimbulkan kerusakan di sekitar, seperti yang saya alami... rada nggak pantes dipaparkan di sini... dan gara-gara itu, saya sekarang mengalami hubungan yang tidak mengenakkan dengan tiga sahabat saya (dan keluarga mereka!).. Soal finansial? kebersihan lingkungan? (hihi...) That's her problem.

Trust me! she's all alone in this world: no one to love, no family back home, no place to go home, has nothing to lose.. but plenty of tricks and a good definition of vengeance.. such a helpless little creature aspiring to be a mobster!

Dan percayalah juga, mood saya sekarang ini adalah MARAH, bukan KANGEN !!, huahahah...

p.s.:
- no name please!
- saya sebenarnya sudah merancang pembalasan dengan cara yang sangat keji, tapi dicegah oleh teman saya. "Kasian dia kan, Mas," kata teman saya itu. Dan dengan diluncurkannya postingan ini, amarah saya sekarang tinggal 25%...
- si kuskus sekarang aktif di sebuah milis yang "gokil"... beware of the snake (lol).
- buat kuskus yang bersangkutan (kalau ikut baca postingan ini): kita udah maapin elo kok. we love you! dan kalau lo mau nongol lagi, kita akan terima dengan tangan terbuka dan dada telanjang.. upzzz..

Friday, June 22, 2007

Jakarta Great Sale !

Kau sembunyikan matahari, rembulan, dan bintang-bintang, agar aku tak bisa melihat sosokmu dengan jelas. Dan kau selalu punya tipu daya untuk membangkitkan kegusaranku, menyeretku kembali ke permainanmu. Lalu kau buai aku dengan wangi setanggi yang membuatku bernafsu untuk terus menyetubuhimu (kini sendi-sendi tulangku mulai terasa ngilu).

Tapi aarrghh.. aku jadi semakin tahu bagaimana cara menghadapimu, nduk! Tunggulah, suatu saat nanti, aku akan melumpuhkan kebengisanmu.


SELAMAT ULANG TAHUN, PELACURKU !

(Selamat juga, buat pasangan Bang Ini dan Bang Itu yang sedang berjuang dalam pemilihan germo tahun ini. Semoga sukses!)

Thursday, June 21, 2007

Silakeun protes...

Di tengah malam yang sunyi...
Di ruangan kantor saya yang sepi...
Di depan seperangkat kompi yang dilengkapi webcam dengan kualitas gambar alakadarnya ini...
Ditemani sekaleng Guinness yang tinggal setengah isi...
Dan dua bungkus rokok poligami...
Tiba-tiba, setelah sekian lama...
Saya ingin setor muka di hadapan Anda semua...
And hope you wouldn't be disturbed by my devilish charm, huahahaha....








Saturday, June 09, 2007

Losing My Kuskus

Diilhami oleh comment saudari Mitun soal "kandang kuskus", saya ingin menyampaikan kisah muram tentang perjumpaan saya dengan binatang itu. Muram?? Iyaah, karena waktu kejadiannya tepat di tengah malam, nggak seterang kalo siang kaan, hihi..

Percayalah, kejadian yang udah seminggu berlalu ini adalah kisah nyata, melibatkan beberapa saksi mata. Dan yang saya maksudkan dengan kuskus itu adalah kuskus beneran (Phalenger orientalis). Jadi kalau ada pembaca blog ini yang kebetulan punya kesamaan anatomis, wajah, atau nasib dengan binatang malem tersebut, saya minta maap! Bukan kalian kok yang saya maksud.

Dan kalau kebetulan ada kuskus aseli ikutan baca blog ini... aahhh semoga kau mengerti nduk!

Malam itu, tatkala (pake "tatkala" biar kliatan lebih serius!) saya keluar dari kantor buat nyari rokok, saya liat si satpam clingak-clinguk, ngarahin senter ke atas bangunan tiga lantai ini.

"Cari apakah gerangan?" tanya saya.

"Itu Mas, coba liat deh! Kayak ada binatang tapi aneh banget... apa yah," dia menjawab dengan agak shock.

Dasar, satpam kok penakut! Memang rada mengejutkan sih. Dua sinar mata kecil terlihat di atas sana. Tapi yaahh.. itu kan cuma sepasang mata binatang. Jenis mata bersinar seperti itu memang dipunyai para nocturnal animals. Huh! Bukan urusan saya. Saya tinggalkan si satpam yang gagal melibatkan saya dalam petualangan serunya itu.


***

Sekembali saya ke markas, seabis ngobrol sejam dengan orang-orang di pertigaan, pas nyampe di depan pintu kaca... binatang itu ada di situ! Dia merangkak dengan susah payah di keset "welcome" tepat di depan pintu. Bulunya cokelat rada kelabu. Kakinya lemah dan pendek, tangannya panjang. Muka seperti blasteran kucing-monyet, tapi tampangnya lebih memelas.

Wajah memelas itu, dalam bayangan saya, adalah ekspresi letih dalam perjalanan panjang di belantara kehidupan. Dan dia datang ke sini sebagai anak-hilang-kembali-pulang. Tapi pulang ke mana?? Hanya saraf-saraf di otaknya yang kecil itulah yang bisa mengolah berbagai data untuk merumuskan arti kata "pulang" dan selanjutnya menentukan geoposisi "rumah"-nya. Ah, nggak seribet itu sepertinya.

Saya sendiri, sebagai mahluk Homo sapiens sapiens yang tentu saja punya otak dengan volume yang jauh lebih gede dari dia, belum juga berhasil memecahkan persoalan yang disebut barusan. Sampai sekarang saya belum menemukan definisi yang pas untuk kata "pulang" dan "rumah". Apalagi dia dengan ukuran kepalanya yang imut itu!

Capek memang kalo semua dibahas filosofis, mendingan biologis aja: Kuskus bukan binatang piaraan. Rumahnya ada di alam liar yang padat dengan vegetasi, bukan di sebuah kandang kecil bikinan manusia. Bisa jadi, yang dia lakukan sekarang adalah melarikan diri dari kungkungan majikan lamanya, bukan dalam rangka mengembara, meninggalkan kenyamanan, mencari petualangan baru, jalan-jalan, backpacking, hihi..

Saya dekati binatang itu. Elus-elus punggungnya. Beberapa bekas luka terlihat di sekujur tubuhnya yang berbulu halus. Rupanya, dia pernah mengalami beberapa peristiwa kekerasan di sepanjang perjalanannya. Dan mungkin itu yang bikin dia menunjukkan sikap curiga dan ogah-ogahan, pas saya mengulurkan tangan.

Pelan-pelan saya gendong dia. Tapi dia memberontak dan mengeluarkan sedikit desis. Memang bentuk anatominya yang aneh itu bikin dia ngerasa nggak nyaman digendong dengan posisi seperti ketika kita menggendong ponakan kita yang masih bayi. Akhirnya saya taruh dia di paha, biar bisa berposisi seperti memeluk batang pohon --sebagaimana kebiasaan di habitat aslinya.

"Mau diapain Mas?" tanya satpam yang sedari tadi menonton dengan takjub dan sedikit khawatir. Sedikit khawatir bahwa saya akan memangsanya mentah-mentah, niru si Ozzy Osbourne zaman muda dulu, hihi...

"Nggak tau, dipiara aja kali yah," saya menjawab tanpa menengok ke dia.

"Yah, tapi tarohnya di mana? Terus makanannya apa? Mendingan lepasin aja daripada ngerepotin."


***

Beberapa menit berlalu. Masih dengan posisi menggelendot di paha, si kuskus saya bawa ke dalam, naik ke lantai II, lalu masuk ruang redaksi melewati pintu ber-scanner sidik jari yang bertuliskan "selain karyawan dilarang masuk".

Tapi, di dekat jendela yang terbuka itu, si kuskus meloncat keluar! Lenyap ditelan rerimbunan daun bambu..

Sudah, gitu doang?

Belum. Karena sampai sekarang saya belum bisa meresolusikan bagaimana kira-kira akhir petualangan si kuskus itu. Cerita ini belum ber-ending!

Wednesday, May 30, 2007

Lokasari, 11.45 p.m.

Malem itu kami nyangsang di Lokasari, Mangga Besar, sebuah tempat yang nggak begitu terkenal di sudut utara Jakarta. Tujuannya: nyari tempat ATM, karena saya tiba-tiba keabisan duit buat ongkos pulang. Kami menyusuri boulevard yang selarut itu masih aja dipenuhi orang-orang lalu lalang, tampang-tampang nggak penting yang nggak perlu diperjelas deskripinya.

Nah, di sisi sebelah kiri jalanan itu, tepatnya di deretan BNI, ada sebuah warung ehh... restoran
franchise yang jualan fried chicken. Dari balik kaca remang-remang, saya liat tempat tersebut masih rame dipenuhi mereka yang lagi asyik menyantap kentang dan... ayam. Terlihat beberapa perempuan muda duduk mengelilingi sebuah meja, salah satunya dengan pakaian nggak lengkap yang nggak perlu diperjelas deskripsinya.

Ada juga dua bapak-bapak setengah baya, yang artinya perjalanan hidupnya diprediksikan tinggal "setengah" lagi, begitukah? Ah bukan. Saya nggak akan membahas perbedaan "separuh baya", "sebaya penuh", ataupun "seprapat baya" seperti saya.. By the way dengan menyebut "setengah baya", itu kan artinya kita mendahului kehendak Tuhan atas takdir kematian seseorang. Ndak boleh itu, dilarang, musyrik! (tuh kaan, melenceng dari topik! )

Begini, dua pria sepersekian baya itu duduk berhadap-hadapan di meja kecil. Satunya sibuk dengan sepotong paha.. ayam. Satunya lagi bicara di telepon genggamnya. Ekspresi wajahnya serius, mirip gaya seorang murid kelas dua SMU yang sedang menghadap guru BP gara-gara ketauan nilep duit espepe.

Certainly, saya nggak mendengar isi pembicaraannya itu. Saya nggak mau tau, apalagi suudzon. Tapi saya tiba-tiba terdiam oleh dialog yang terdengar sayup-sayup di kepala saya.


* * *

"Ma, belom tidur? Gue masih di jalan, dua jam lagi kali baru nyampe rumah. Belom
deal juga kok, urusan ama Mr. Ong. Eh, dia mau take off tar jam lima."

"Lha, katanya tadi situ mau nganterin anak-anak ke neneknya tar subuh?" terdengar suara perempuan di seberang sana.

"Yah gimana lagi. Proyek ini kalau jadi, gue bakal dapet posisi yang enak. Ini aja gue masih rapat, break bentar buat nemenin Mr. Ong nyari cemilan di luar."

"Ooo.."

"Udah makan, Ma? Di rumah ada makanan apa?" tanyanya sok-sok perhatian. Tumben-tumbenan, memang.

Perempuan pemilik suara-di-seberang-sana itu mengernyitkan jidat, sambil jemarinya mengelus-elus rambut lurusnya yang jatuh di pundak. Dan ngomong-ngomong soal pundak, tuh cewek kebetulan memang lagi mengenakan daster batik hasil jalan-jalan ke Jogja dua minggu kemaren. Karena nawarnya terlalu sadistis, maka oleh penjualnya dia diberi daster dengan potongan dan motif yang sama tapi ukurannya jauh lebih gede. Jadinya yaah.. melorot di pundak! (deskripsi ini sama sekali nggak pas dengan konteks, tapi lumayanlah buat nambah2 karakter, hihi...)

"Lagi makan apa sih? Sebenernya lagi di mana? Hayo... Lokasari lagi yah?" perempuan itu bertanya, sambil membelalakkan matanya yang rada sipit.

"Ayam laah, kan yang buka di sini cuma ini. Kita lagi di sebelah hotel... daerah Gondangdia!" kata bapak-bapak itu dengan ekspresi kemenangan, bagaikan Dewa Poseidon yang berhasil menciptakan continental drift!

"Ayam???" dia makin curiga. (pake tanda "?"-nya tiga pula!)

"Iyaah ayam,
chicken. Kalau nggak percaya, tar gue bawain deh. Paha or dada? Mau yang orijinel ato krispi?"

Cut!

* * *

Adegan tadi tiba-tiba terputus, karena temen di sebelah saya berteriak: "Mas lagi kesambet yah? Dari tadi kayak orang bengong gitu. Ayo cepetan jalannya keburu ngantuk!" Maka buyarlah calon cerpen saya yang sebetulnya bakal penuh dengan adegan sadisme dan KDRT itu...

Wednesday, May 23, 2007

Low-spirited...

Sodarra-sodarra sekalian,

Postingan ini adalah pengumuman sekaligus permintaan maaf. Berhubung saya lagi low-spirited, tenggelem dalam berbagai mood yang eruptif, destruktif, degeneratif, agony, in the middle of nowhere.... (garing kan bahasa saya?), maka saya tak bisa typing sesuatu yang bermutu di sini. Dan dari dulu isi blog ini memang gak pernah bermutu bukan? hihi..

Buat membunuh kebosanan, saya sengaja ganti templet... sementara ini pake buatan temen kita yang di sono... semoga nggak dijadikan wacana moral, blah blah blah... Menurut temen-temen deket saya, gak berbau pornografi kok! Sepertinya kan cuma imajinasi sesorang tentang Fallen Angel gitu yeah??

Dan percayalah! Pelan-pelan bakal saya acak-acak lagi, seperti biasanya, biar sesuai dengan penampilan saya di real yang imut ini. Maksudnya, tampang blog ama orang aslinya jadi mirip2, gitu deh, huahaha... In this case, saya masih menggali berbagai pendapat dari temen2 semua: Saya perlu potong rambut ato nggak? Aargh.. makin gak nyambung, kan??

Your input plz!