Wednesday, December 16, 2009

[no subject, no angle... seperti biasa]

Kasus Ibu Prita Mulyasari itu adalah pertempuran antara rakyat kecil melawan hegemoni kapitalis/penguasa? Nggak tahulah, tapi bisa jadi iya. Buat saya, semua itu memperlihatkan betapa manuver "sederhana" dari sesosok binatang yang berukuran amat besar bisa dirasakan sebagai penindasan, kezaliman, dan bahkan berakibat fatal bagi binatang lain di sekitar yang ukurannya jauh lebih kecil. Dan manakala si binatang imut itu memprotes dan menghujatnya, si raksasa memandangnya sebagai sesuatu yang nggak penting dan merespons dengan alakadarnya, tapi dirasakan oleh si imut sebagai serangan yang luar biasa kejam. Untuk mengimbangi kekuatan itu, maka semangat "bersatu kita teguh" pun digalakkan di antara sesama binatang imut. Sebegitu heroik memang, dan lumayan mencuri perhatian kami semua.

Tapi bagaimana seandainya dia, Mbak Prita, itu adalah seorang istri petani miskin di sebuah dusun persawahan yang dikepung beberapa tembok pabrik, yang sedang berseteru dengan puskesmas di sebelah balai desa gara-gara mantri salah memberi obat masuk angin dengan suntikan antirabies, lalu dia balik menuduh bahwa si embak itu mau menipu dan berniat mendefamasi lembaga puskesmas?

Bisa jadi saya mendakwa asal-asalan, tapi saya bayangkan dia nggak bakal meraih perhatian segede yang didapat Prita, karena dia bukan berasal dari kelas menengah perkotaan yang sangat artikulatif dalam mempertanyakan hak-hak sosialnya, dengan akses ke lingkungan pergaulan yang begitu peduli pada sesama (milis), dan tentu saja lebih gampang mendapat publikasi oleh para pencari berita. (Mobilisasi massa berupa pengumpulan koin sumbangan pun lebih mudah dilakukan, dengan jargon-jargon serta gimmick yang sophisticated dan cepat memancing kemunculan para filantropis dadakan: anak-anak sekolah, mahasiswa, karyawan swasta, pegawai negeri, kelompok dunia maya, juga dari "golongan hitam" semacam para politikus oportunistis narsis yang gemar mendompleng momen menyentuh semacam itu.)

Oke, yang saya paparkan memang kurang realistis sih. Nggak meyakinkan. Contoh yang lebih nyata banyak, seperti soal pengembat semangka di Brebes, trus seorang nenek nyomot biji cokelat di deket2 Purbalingga atau di mana saya lupa, dan sebagainya, yang beritanya begitu melimpah ruah di media massa di segala spektrum itu. Mereka juga merasakan kezaliman pemegang kekuasaan. Sepertinya mereka juga pantas disumbang dengan koin.... Tapi kenapa nggak ada yang punya ide untuk melakukannya, dan kalaupun dilakukan, apakah hasilnya juga lumayan seperti yang barusan terjadi itu?.

Magnitude-nya sebagai berita memang tidak gede. Kasus hukum yang terjadi terlampau sederhana buat dicurhatkan di milis (seandainya di antara mereka ada yang menjadi blogger atau anggota milis, hehe). Mereka pun kurang punya akses ke penyebar berita dan kurang mampu mengartikulasikan diri sebagai karakter penting dalam sebuah cerita kehidupan yang dramatis dan menarik untuk ditonton.

Begitu kesimpulan saya, silakeun marah kalo mau marah, hihi....



Tuesday, June 30, 2009

sekali berarti, sesudah mati :(

Michael Jackson wafat meninggalkan warisan karya seni di bidang musik yang, kata seorang teman, luar biasa besar. Konon pula, meskipun meninggalkan utang berjibun, simpanan kekayaan harta plus "penghasilan" yang dia raih sepeninggalnya jauh melampaui jumlah utang itu.

Tiba-tiba saya jadi berpikir, seandainya dia nggak meninggal, apakah orang ramai-ramai membeli rekaman yang selama berpuluh tahun tenggelam oleh ingar bingar berbagai aliran musik baru. Apakah berbagai stasiun televisi mau memutar ulang lagu-lagu semacam Beat It, Heal The World, atau Ben (ini lagu kesukaan saya!).

Lebih spesifik lagi, seandainya dia sekarang masih hidup dalam keadaan sehat walafiat, apakah media massa masih merasa perlu menurunkan berita tentang dia sebagai headline?

Kemudian (masih tiba-tiba juga) pikiran saya melayang pada kejadian beberapa tahun silam di stasiun kereta api komuter Jayakarta.

Siang hari pukul 02.00, begitu turun dari KRL di stasiun yang terletak Jakarta sebelah utara itu, saya mendapati segerombolan orang berkerumun di salah satu sudut ruangan besar yang biasanya senyap. Puluhan pasang mata tertuju ke objek yang berada di tengah-tengah. Mereka saling berbisik, dengan mimik muram. Beberapa sambil menunjuk-nunjuk. Ada yang geleng-geleng kepala. Pemandangan rada mencekam di siang yang benderang pada musim kemarau itu.

Penasaran membuat saya cepat-cepat mendekat. Dan rupanya, sesosok mayat bocah berusia bangsa 10 tahun.

Di atas tikar lusuh itu, tubuhnya terbujur kaku dalam posisi telentang. Kedua tangan ke atas, seakan sedang berpegangan pada sesuatu.

"Anak jalanan, kesetrum waktu naik di atap kereta," kata seorang lelaki berpakaian petugas KAI, waktu saya tanya apa yang terjadi pada bocah berpakaian compang-camping tersebut.

Di sebelah bodi yang gosong itu tergeletak sebuah kardus. Beberapa orang melemparkan lembaran uang ke dalamnya. Dan tatkala saya longok, astaga, jumlahnya lumayan banyak! Lembaran uang seribu, lima ribu, bahkan sepuluh ribuan bertumpuk sampai seperempat bagian kardus bekas kemasan mi instan itu. Mungkin jumlah keseluruhannya sampai saat itu cuma seratus-dua ratus ribu. Yang jelas, cukup banyak!

Saya pun meninggalkan kerumunan itu sambil berpikir: uang yang dikumpulkan cukup buat petugas kereta untuk mengurus pemakamannya, atau paling tidak buat membawa jasad itu ke RSCM untuk keperluan visum dan sebagainya. Atau mungkin... Ah, mendingan berpikir positif, sambil mendoakan keberuntungan bocah itu di alam sana.

Yang terbesit di benak saya waktu itu, bagaimana seandainya arwah bocah tersebut masih berkeliaran di sekitar bekas tubuhnya. Melayang-layang sambil melihat kerumunan orang di bawah sana. Melihat tumpukan uang di kardus itu, lalu berteriak dalam bahasa arwah: "Yess, akhirnya, ini rekor pendapatan terbesar!"

Kejadian itu masih menghantui saya sampai sekarang. Dan bayangan tubuh gosong bocah itu, berikut kardusnya, kembali muncul setelah membaca berita tentang kematian sang raja musik pop (may he rest in peace) beberapa hari lalu. Kenapa yah??

Tuesday, May 12, 2009

A Momentary Lapse of Reason*

Hari Senin Pon, ba'da magrib. Lokasi: stasiun kereta Bogor. Rada kedinginan di gerbong KRL ekonomi ber-AC yang siap berangkat ke arah Jakarta 30 menit lagi. Gerimis kecil di luar. Saya boroskan waktu dengan mengoprek facebook dan travian, typing status "@ krl" di Facebook dan mengamati newsfeed, sambil sesekali ngelirik ke sepasang mbak2 montok and bapak2 gendut yang berisik ngobrol di seberang itu (sepertinya mereka pasangan golfer dan caddy loh!) Posisi duduk mereka itu bikin bulu kuduk beserta bulu-bulu lainnya berdiri, hihi...

Sesekali juga, terlihat para pedagang asongan lalu lalang, meneriakkan berbagai komoditas mikro yang cuma itu-itu aja. Dengan gaya yang itu-itu juga. Kreativitas bangsa ini memang perlu lebih ditumbuhkembangkan (cieh!!)

A few minutes to go... gerimis di luar udah mulai reda... kereta masih ngejogrok di tempat semula. Beberapa bangku yang melompong mulai terisi satu-dua orang.... selalu ada di antara mereka yang menarik buat dikomentari (dalam hati of course!) Dan, menjelang batas akhir waktu yang disediakan, pengasong seperti bertambah ramai saja. Tapi, masinis beserta para kru masih terlihat bercanda riang gembira dengan teman2nya di warteg pojokan sana. Lucu juga sih seandainya, saking asyik ngobrol, mereka ditinggal si kereta. Kebayang kan ekspresi wajah mereka bakal kayak apa, aahahah...

Nah, saat mata belanja ke mana-mana, terdengar teriakan di sebelah: "Sony Erikson, Nokia, Motorola, Blekberi....." Dia berjualan aneka "kondom" (karet pelapis) henpon rupanya!

Lalu, "Ekspres musik juga ada... yang warna merah juga ada...." Saya terkesiap. Sangat mencurigakan! Bisa-bisanya dia tahu henpon kepunyaan saya sedetail itu. Jangan-jangan... Saya tatap mata si pedagang itu, "Kok tahu henpon saya merek apa!!?"

Dia cuma nyengir, trus berlalu ke gerbong sebelah....

Lalu saya pun tersadar, dari tadi yang sedang saya pegang ini kan juga henpon !


*Judul salah satu album/lagu Pink Floyd

Thursday, January 22, 2009

E-mail itu...

Sore kemarin, seorang teman bertanya, "Alamat e-mail-nya apa?" Saya berikan account saya yang berjudul "contong.lincip" et yehu (yang cuma saya pakai buat login ke facebook and friendster, hehe...) "Ada apa toh?" saya tanya ke dia. "Ini ada yang saya mau forward, kesian banget deh dia!" jawabnya dengan wajah serius. Wah! Pasti isinya permintaan sumbangan atau apa gitu, ada kata "kesian" soalnya.

Sejam kemudian saya iseng membaca-baca e-mail baru. Di antara setumpuk e-mail "facebook" dan "friendster", terselip nama teman saya tadi. Lalu saya klik, dan.. astaga! Di bagian lead dari paragraf-paragraf itu berderet kata-kata:

"Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku...."

Entah apa yang ada di benak teman saya sewaktu memutuskan untuk menyampaikan kabar berbau "konflik rumah tangga" itu kepada saya. Entah bagaimana perasaan saya membaca kalimat awal tersebut (takjub dan sedikit nyengir sepertinya). Dua tahun lalu, seandainya saya membaca kalimat seperti itu, pasti pikiran saya langsung: "Dari tujuh belas tahun dotkom ya!" Tapi kali ini mestinya bukan, mengingat teman yang mengirim e-mail itu adalah cewek yang sepertinya alim.

Saya tarik ke bawah, tulisan itu ternyata panjaaang sekali. Saya hitung karakternya sampai 12.000 karakter. Panjang banget, bisa ngabisin tiga halaman kalau dimuat di majalah. Dibutuhkan ketekunan luar biasa untuk membuat e-mail sepanjang itu, meskipun di dalam ceritanya juga "mengutip" beberapa e-mail yang juga lumayan panjang. Cara bertuturnya cukup lancar, meskipun kurang gramatikal. Perhatikan kutipan di atas, ada kata "meskipun" dan "tapi" di satu kalimat. Itu kan nggak boleh ada dalam kaidah bahasa mana pun!

Nah, karena kemarin itu saya lagi nggak ada kerjaan, saya baca e-mail-nya sampai habis (dan karena sampai detik juga ini saya belum ada kerjaan, maka jadilah postingan ini.) Saya ikuti dengan tekun isi curhat dalam e-mail itu. Ceritanya, biasalah, tentang seorang istri yang suaminya selingkuh dengan bekas teman kuliahnya bla-bla-bla, lalu membaca e-mail percintaan si suami yang nggak sengaja kebuka, dan sebagainya.... baca sendirilah di sini.

Cerita itu bisa jadi menarik menurut pandangan orang-orang tertentu, terutama para cewek. Tapi buat saya, apa urusannya? Kisah romantis seperti itu menurut saya sudah setua peradaban, sudah ada sejak dahulu kala dari zaman Adam dan Hawa. Konon, mereka diusir dari surga gara-gara kepergok berduaan mulu tanpa bisa menunjukkan surat nikah... bener nggak sih?? Trus hubungannya juga apa, hahaha...

Dan akhirnya, kalaupun ada "pesan moral" yang bisa diambil, itu adalah: Jangan pernah lupa untuk logout setiap selesai membaca e-mail. Bila perlu hapus semua cookies, histories, cache, offline data, dan sebagainya setiap kali mau menutup browser, di komputer mana pun juga --kepunyaan sendiri atau orang. Dan ini adalah prosedur standar yang mesti kalian lakukan di semua komputer! Mengerti? Awas kalo enggak.. :-"

Peace out!

Friday, January 09, 2009

tahun baru apa

Saat ditanya berapa umurnya, jarang-jarang orang balik bertanya: "Umur menurut kalender Hijriyah, Masehi, atau kalender ciptaan saya sendiri?" Kebanyakan memang langsung menyebut angka menurut kalender Masehi. Tapi, begitu ditanya "lebih penting mana perayaan Tahun Baru dengan 1 Suro", jawabannya bisa beraneka ragam menurut keyakinan masing-masing. Nah, menurut saya sendiri, lebih penting mana?? Saya tidak tahu. Pasti kalian menebak saya lebih mementingkan yang disebut belakangan demi melihat tongkrongan saya yang kegendruwo-gendruwoan, hihi....

Akhir-akhir ini saya berkesimpulan: dua-duanya nggak penting! Saya, sabagaimana manusia-manusia lain, memang merasa bahwa semakin lama pertumbuhan sel-sel di tubuh saya semakin melambat. Ini adalah alur biologis yang sering dihubungkan dengan dengan umur, atau lebih tepatnya dengan waktu. Saya percaya dengan waktu. Tapi, bukan berarti saya harus percaya, mendefinisikan seluruh pengalaman hidup saya, dengan satuan umur atau kalender, yang nota bene adalah buatan manusia. Saya lebih kagum pada Sang Pencipta Waktu daripada para pembikin kalender yang sekadar menempel-nempelkan angka. (Got my idea? Skip this paragraph if you didn't.)

Jadi, kenapa saya harus selalu bergabung dalam ritual yang dilakukan para "pemuja kalender" itu setiap malam pergantian tahun? Bisa jadi saya terlalu pongah menyimpulkan bahwa 90 persen lebih para peserta acara "hura-hura" ataupun "permenungan" itu cuma mendompleng momen. Kita kan bisa melakukannya tiap hari kalau mau. Tiap malam kita bisa rame-rame ngitungin jam, jogat-joget di lantai diskotek kayak cacing digaremin, minum bergelas-gelas jekdi atau chivas, niupin terompet kertas sampai lepek, bikin resolusi baru atau sok-sok merenung memikirkan nasib.

Tapi setiap tindakan kan harus ada alasan yang bisa diterima orang lain, bukan? Supaya kita nggak dibilang absurd. Dalam terminologi psikologi sosial yang mbuh-raruh saya lupa saya baca entah di mana, selalu ada yang disebut sebagai conformity.... bla-bla-bla

Juntrungan tulisan ini sebenaranya apa sih?? Gak tahu! Pusing aku. Saya memang sering sok-sok ribet buat menerangkan sesuatu yang sederhana. Hari-hari kemarin itu, saya saya memutuskan untuk menghabiskan malam pergantian tahun tanpa hura-hura bareng teman-teman, tanpa alkohol, tanpa merenung juga. Nggak seperti bertahun-tahun sebelumnya. Alasan sebenarnya: iseng. Dan di sini, sebenarnya saya cuma mau pamer bahwa saya habis kelayapan ke luar Jakarta pas kalian pada bertahunbaruan, eh, eh, eh....