Friday, December 21, 2007

Selingan 2


"Hujan tuh, mendingan nginep aja di sini," kata teman saya.

"Aku kan ada payung!" saya menjawab, bangga.


"Tapi nggak pantas deh, anak muda kok payungan!"

Nah, atas petuah teman saya yang memang sudah sepuh itu, sekarang saya tiba-tiba mikir: iya juga sih, udah keren gini, jaket jumper and topi, malah pakai sepatu bot segala buat antasipasi becek-becekan... masak payungan sih? Warna ijo pula. Memang nggak pantes, jadi nggak usah dipakai payungnya.

Lima menit berlalu, dan saya pun sampai di dekat stasiun kereta berkat adanya sarana transportasi supermodern bernama ojek.

Saya ayunkan langkah kaki dengan hati yang ringan. Hidup is biutiful. Dan tiba-tiba saya jadi kagum pada diri saya sendiri, yang begitu menikmati hidup, begitu gagah menembus hujan.

Tapi...kenapa orang itu ngeliatin saya terus!

Iyaah orang itu. Dari gayanya, sepertinya dia biasa nongkrong di daerah situ.. ah nggak tahulah. Yang jelas, saya nggak suka dengan caranya memandang. Menatap ke mata saya. Hati tiba-tiba rada panas. Setelah menimbang situasi sekeliling, saya putuskan untuk menghampirinya. Aha.. sepertinya rada shock juga.


"Apaan??" saya bertanya tanpa nyengir sedikit pun.

"Maksudnya?"

"Dari tadi ngeliatin saya terus, ada apa !"

Diam sejenak, lalu...

"Ooh gini...," ekspresi wajahnya melunak. "Aneh aja sih masnya ini. Udah tau ujan... bawa payung kenapa dipegangin doang nggak dibuka! hehe..."

Anjrit, rupanya dari tadi saya lupa memasukkan payung ke dalam tas!

"Oooh iya yah, hihi.. maap atas penampilan saya," kata saya, buru-buru kabur dari lokasi itu.


PESAN MORAL:
Jangan membawa payung selagi hujan, jika Anda nggak berniat untuk membukanya.

Saturday, December 15, 2007

Scary Cinema: Kuntilanak Tiga



DISCLAIMER:
Cerita di bawah ini adalah rekaan. Saya tidak melakukannya dengan sengaja seandainya ada kemiripan nama, bentuk tubuh, dan susunan gigi, hihi..



Sore itu, Yanti dan Muti berniat menghabiskan waktunya di sebuah pusat perbelanjaan mewah yang berlokasi di tengah-tengah kota. Pukul sembilan lebih dikit, dan toko-toko udah mulai tutup. Tapi tujuan mereka memang bukan buat belanja. Mereka hendak menonton film "Kuntilanak 2" di bioskop yang terletak di lantai delapan.

Usai memarkir mobil di lower ground, mereka langsung menuju lift, pencet angka 8, dan hups.. sampailah mereka di tengah ingar bingar para abege yang lagi malem mingguan. Ada yang datang berombongan, berpasang-pasangan, ada pula yang clingak-clinguk sendirian. Neon box warna-warni tersebar di segala penjuru, bikin suasana di situ begitu seru.

"Wah, tuh ada cowok keren!" bisik Yanti sambil nunjuk ke seorang mas-mas di pojokan yang lagi asyik mencet-mencet henpon Communicator-nya.

"Dasar ganjen lo! Lagian, potongan rambut kayak iguana darat gitu dibilang keren. Mendingan yang itu dong, mirip Brad Pitt jaman masih miskin," kata Muti, membuang pandangan ke cowok gondrong berbaju item-item, topi item, dan sandal gunung item, yang duduk sendirian di sofa smoking room.

"Cumi, lo sih memang suka yang aneh-aneh gitu," kata Yanti.

"Yee, mentang-mentang cowok lo kalem banget kek guru ngaji!" kata Muti sambil membenahi letak tali tanktop-nya.

Memang, dalam setiap kesempatan, dua cewek ini selalu riuh berdebat. Mungkin justru itu yang bikin hubungan mereka terus erat. Additional info: mereka berteman dari SMA. Dan sekarang, Yanti kuliah di sebuah akademi sekretaris swasta ternama sedangkan Muti mahasiswi teknik informatika jurusan Depok-Pasarminggu (lho!).

***

Lima belas menit berlalu, dan pintu bioskop tujuh pun dibuka. Para penonton dipersilakan masuk. Dengan tertib mereka melangkah ke dalam, lalu duduk di bangku masing-masing. Lalu.. seperti biasa, acara berlangsung dengan rada khidmad. Terdengar bisik-bisik di sana-sini.. jeritan kompak manakala si kunti nongol dengan mengagetkan.. kadang tawa cekikian kecil rombongan abege yang duduk di depan.

"Diem lo!" kata Muti sambil kakinya nendang bangku di depannya, sebagai reaksi atas kegaduhan mereka.

"Lo juga diem deh, dari tadi ribut mulu bedua," bisik mbak-mbak di belakang. Muti nggak nengok, matanya tetap fokus ke layar. Sebagai seorang movie-freak sejati, dia selalu menonton film apa saja dengan khusyuk.

"Eeh, itu ganteng banget yang jadi cowok jahat! Gue mau tuh dijadiin bini simpenannya, hehe...," kata Yanti dengan vokal cemprengnya.

"Sttt...!!"

Suasana hening.. senyap... nyaris tak ada lagi suara-suara spoiler.. bagaikan berada di dalam pesawat ulang-alik pas mesinnya dimatikan (sok tau banget kan gw, hihi.. --Red.)

Lalu tiba-tiba terdengar gerutuan mbak-mbak di belakang Yanti-Muti tadi: "Pilem apaan ini! Mosok udah tiga puluh menit belum ada satu pun adegan ML.. tau gini mendingan beli DVD pilem dewasa aja di Ambas!"

Yanti menimpali, "Dasar otak mesum, udah tau kan yang kita tonton ini pilem horor... kalo nggak buta hurup, baca deh tadi judulnya kan 'kuntilanak dua'!"

"Iyah, dan saya adalah... kuntilanak tiga! Hih, hih, hih... ..."

Tawa melengking itu begitu memekakkan telinga. Intonasinya bikin bulu kuduk beserta bulu-bulu lainnya berdiri...

Serentak, Yanti dan Muti memandang ke belakang... astaganaga!! Di belakang mereka duduk sesosok cewek berwajah pucet, rambut panjang acak-acakan, mengenakan long-dress warna putih kumel... tipikal hantu banget! Dan yang lebih mengagetkan, tiba-tiba semua penonton menghilang... Ruangan besar itu begitu dingin....

"Huwaaaa...!!!" duet yang fals dan nyaring pun terdengar. Berebutan mereka menghambur ke pintu exit.

Mereka berlari sambil menjerit-jerit, menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sempit... sampai akhirnya, di bawah lampu neon yang temaram, terlihat seorang pria berseragam safari hitam. Sebuah handy-talky di tangan kirinya. Dengan sikap waspada, si bapak itu mengawasi dua cewek yang berlari ke arahnya.

***

Sambil terengah-engah, kedua protagonis kita itu menceritakan segala kejadian yang barusan menimpa.

"Yakin bahwa tadi tombol angka yang dipencet nomer delapan? Ini kan lantai sebelas! Saya ke sini karena ada laporan tentang sesuatu yang mencurigakan di sini.... bioskop itu adanya di lantai delapan, Dek!" petugas sekuriti itu menjelaskan.

"Lho kok bisa?" si Yanti bertanya sambil melongo.

Dan sekuriti itu memulai ceritanya yang panjang lebar tentang sejarah berhantunya lantai kosong yang tengah direnovasi itu. Tentang kebakaran yang pernah melanda bekas ruangan bioskop lantai sebelas. Tentang kemunculan hantu legendaris bernama Rositta. Juga tentang beberapa pengunjung yang mengalami nasib penghantuan serupa dengan mereka, yang prosedur awalnya sama: disesatkan ke lantai 11.

Semuanya bikin Yanti dan Muti tambah lemes, tiba-tiba perut mules. Dan mereka pun sepakat: nggak akan lagi-lagi nonton pilem hantu... Mendingan nonton pilem saru.



Thursday, December 13, 2007

Lucy II


Singkatnya, saya kenal dia dua tahun silam. Akhir tahun lalu, dia melahirkan anaknya setelah hamil di luar dan di dalam nikah --dalam usia kurang dari 20 tahun. Dan beberapa bulan kemudian dia berangkat ke luar negeri buat mencari rezeki, menambah nafkah buat anak "di luar dan di dalam nikah" tadi.

Semenjak itu, saya kehilangan kontak. Cuma mengendus jejaknya lewat Friendster. Dia memberitahukan login e-mail dan password-nya sambil bilang, "Tolong nitip dipelihara prenster gue yak.. gue mo mengasingkan diri bentar." Dan kehidupan pun terus berjalan.... Berbagai pengalaman seru, munculnya teman-teman baru, menenggelamkan sosoknya ke dalam kegelapan masa silam (huekkk!!)... saya nggak peduli.

Oh iya, sebut saja namanya Lucy.

Tiba-tiba nama itu nongol di blog ini gara-gara semalam saya melihat syuting sinetron di gedung esde depan kantor, pas lagi beli rokok dan nasgor ecrek-ecrek. Pukul 12 malam, tapi di gedung sekolah dasar itu para kru sinitron masih riuh mempersiapkan adegan tentang dua suster (nggak pake ngesot kok, tenang aja!). Nah, salah satu pemeran suster itu wajahnya mirip banget dengan... Lucy!

Dalam hati saya: "Anjrit, nipu lagi tuh anak... bilangnya ke Taiwan nggak tahunya balik lagi ke profesi lama!" Saya pun ikutan menonton mereka. Berharap nanti bisa nge-gap dia, ghrrr...

Di sebelah saya adalah seorang bapak-bapak setengah baya. Tampangnya model-model birokrat gitu, tapi nyanklong tas cewek warna pink. Ganjen amat kaan?? Ngapain coba malem-malem gini ikutan nongkrongin sinetron! Buat pantes-pantesan daripada nggak ngobrol, saya bertanya: "Bapak ikutan di sinetron ini?"

"Enggak dek, saya lagi nunggu istri saya," dia menjawab dengan kalem.

"Oowh, jadi extras (figuran --Red.) juga?"

"Iyah," matanya mulai menatap ke saya dari atas ke bawah. Mungkin dia kagum ngeliat kombinasi kaos Jack Daniel's item dan celana panjang batik warna ungu yang saya pakai.

"Hmm, bukan yang itu kan Pak?" saya bertanya sambil nunjuk si "Lucy".

"Iyah, itu istri saya!"

"Lhoh.. kirain dia adalah temen saya si Lucy, hehe.. syukurlah! Ngomong-ngomong dia bukan bernama Lucy kaan?" kata saya, perasaan rada plong.

"Bukan," dia menjawab dengan intonasi yang menukik tajam, tatapan matanya terheran-heran. Saya terdiam sejenak. Dan setelah ngobrol basa-basi dikit, saya buru-buru kabur dari lokasi itu.

Dear Lucy, if you read this, please forgive me!

Monday, December 10, 2007

Peluit-phobia

Lagi-lagi, kejadiannya di Bogor (kali ini saya nggak pakai kata "kota hujan" soalnya nggak ada yang perlu diumpetin). Setelah beberapa lama, baru kali ini saya naik motor! Dan betapa nyaman naik kendaraan itu di Bogor. Lalu lintas nggak sepadat di Jakarta. Musuhnya palingan cuma angkot-angkot yang melaju dengan ogah-ogahan.

Motor bebek yang rada gres itu enteng banget tarikannya. Saya lupa mereknya apa. Yang jelas, itu motor ponakan saya, yang sekarang duduk di boncengan sambil ngomel-ngomel: "Kok bawanya nggak meyakinkan..."

"Aku tuh naik motor dari jaman kamu belom lahir taook!" saya mengungkapkan fakta yang membanggakan itu.

Dan karena kebawa mood, saya berusaha mengendarai motor itu dengan senyaman mungkin. Sebagai warga negara yang beradab, saya menaati setiap rambu-rambu lalu lintas, sopan di jalanan, nggak ugal-ugalan, dan memperlihatkan respek kepada sesama pengendara lain... sambil sesekali melontar senyum ramah ke teteh-teteh manis di dalam angkot sebelah itu (nggak pake njulurin lidah kayak biasanya.) Ah, udara Bogor sehabis hujan memang selalu sejuk dan nyaman....

Tiba-tiba... prittt, prittt!! Beberapa puluh meter di depan sana, di pertigaan itu, terlihat lampu-lampu senter merah berpendar-pendar. Ada banyak. Dan.. astaga! Sepatu lars warna putih, helm perak-biru... mereka bukan polisi cepek yang lagi gaya-gayaan. Mereka polisi beneran!

Dengan sigap, kaki kanan langsung nginjek rem. Motor saya belokkan ke kiri, ke parkiran di belakang beberapa gerobak penjual makanan. "Jes, turun dulu deh!" kata saya. "Lhah kenapa om, mo nelpon dulu?" kata ponakan saya cuek, sambil terus mencet-mencet henponnya. Dasar abege... dalam situasi segawat ini masih sempetnya main SMS-an, huh! Saya nelpon ponakan saya satunya lagi (yang udah punya SIM) buat njemput tuh motor.

Perlu saya jelaskan juga di sini, saya memang nggak pernah punya SIM dari sejak jaman dulu kala sewaktu masih tinggal di kampung halaman tercintah. Sewaktu kuliah, saya rutin mengendarai motor tiap hari, dan beberapa kali saya tertangkap razia motor yang ujung-ujungnya adalah saya musti meneruskan perjalanan dengan naik kendaraan umum (sambil megangin helm butut itu).

Dan melakukan prosedur evakuasi motor dari kantor polisi adalah proses yang lama, boros, dan menjengkelkan. Semua itu menimbulkan trauma yang disebut dengan "peluit-phobia". Pas lagi naik motor, tiap denger suara peluit, hati serasa berdesir-desir. Biarpun itu cuma suara peluit tukang parkir. Terus terang, saya jauh lebih nggak pede kena razia motor, dibandingin dengan razia katepe kayak dulu itu.

Buat pantes-pantesan, saya samperin gerobak terdekat. Ternyata, lagi-lagi, itu adalah gerobak martabak. Saya pesen satu, sambil iseng-iseng nanya: "Mas, itu lagi ada apaan sih, kok banyak banget polisi?"

"Oowh, mereka cuma ngatur jalanan, biar angkot-angkot nol tiga belok ke kanan. Udah bebeberapa hari ini kok mas. Memang sih, banyak yang grogi trus balik arah, dikira lagi razia. Ada juga yang kayak mas ini, pura-pura mo beli makanan sambil nongkrong-nongkrong dulu, hehe..," kata si mas martabak sambil ngaduk-ngaduk adonan bumbu. Anjrit!

Saya cepat-cepat nelpon ponakan II: "Nggak jadi, nggak usah ke sini. Ternyata bukan razia motor!" Saya ngumpat-ngumpat dalam hati.

Kenapa sih, di dunia ini harus ada mahluk bernama polisi!!!!@#@!!