Sunday, January 27, 2008

Home sweet home....

Ini foto saya colong dari sebuah situs yang saya lupa letaknya di mana. Karena halamannya diprotek, gambarnya nggak bisa di-save langsung dengan right click, maka saya meng-capture pake MW Snap, hehe...

Pilihan objeknya lumayan bagus.. sangat nostalgic... rustic.. mencuatkan nuansa "abandoned civilization".. saya suka itu!

Seperti cangkang yang ditinggalkan oleh siputnya entah dengan alasan apa. Begitu rapuh digerogoti usia. Teronggok senyap di sebuah sudut yang kumuh, berdebu tebal. Terlewat dari dahaga mata para penikmat "keindahan", yang lebih memilih permata gemerlap di balik tabir gelap nun jauh di seberang lautan.

Adakah di antara kalian yang sepakat denganku, dan rela untuk tinggal bersamaku di sini, hihihih..... (ketawa gaya kuntilanak)


Sunday, January 20, 2008

Perbincangan nggak penting


Siang itu, di Stasiun Pasar Minggu Baru, pas saya lagi duduk di peron nungguin kereta dari arah utara, laki-laki di sebelah itu tiba-tiba mengajak ngobrol. Dia buka dengan: "Zaman sekarang susah banget ya nyari duit!"

Terlalu umum, nggak cerdas, retorika khas basa-basi! Itu yang ada dalam pikiran saya.

Saya pun menengok, meneliti penampilannya, dan sekilas terlihat di matanya dia memang pingin ngajak ngobrol (untuk kesekian kalinya itu terjadi). Dan... tampangnya rada aneh, antara letih dan merasa sedang terkutuk untuk terus bekerja.. jadi terusin aja. Saya membalas pernyataan datar itu dengan nyengir kuda.

"Bawa ini yah?" tanya saya sambil nunjuk ke dagangan aneka pernak-pernik cewek macam jepit rambut, gelang, kalung, dan sebagainya yang teronggok di sebelah kiri saya. Posisi duduk saya adalah di antara si abang-abang dan pernak-pernik itu.

"Enggak, Mas. Saya nyari botol akua..."

Astrajingga... ternyata karung plastik kusam di dekat kakinya itu punya dia! Di sebelahnya ada gancu. Tapi kaus warna putih, sandal jepit, dan celana panjang warna khaki itu sungguh bukan ciri khas para pemulung.

"Nggak papa kan, orang Kalibata nyari botol akua? Yang penting halal kan?" dia menambahkan. Ah, pertanyaan retoris lagi. Tapi yang ini rada nyeleneh menurut saya.

"Lha memang apa hubungannya! Orang mana aja boleh kerja apa aja yang penting gak bikin perkara dengan orang lain...," saya menjawab dengan sok-sok bijak, "By the way, lo orang sini asli gitu? Tinggal di mana?"

"Iya Mas, saya orang sini asli, tinggal di Gang Pomad. Daripada pusing di rumah mendingan kan kerja gini buat nyari makan. Zaman sekarang kan orang kalo nggak kerja nggak bisa makan, betul tidak?" ujarnya (kata "betul tidak" itu tambahan saya sendiri biar mirip2 gaya Aa Gymn, hehe...)

Saya mengangguk-angguk biar kesannya serius.

"Boleh kan Mas, saya ngumpulin botol-botol plastik bekas itu? Gak dilarang kan?"

Aarggh.. kenapa pula ini! Saya menghela napas puanjaaaaang.

"Gini yah Bang... kalo yang lo kumpulin itu botol-botol plastik bekas yang berserakan di jalan, ya nggak apa-apalah. Itung-itung mbantu bersihin sampah. Kalau yang lo ambil adalah botol-botol baru yang masih di toko, itu baru perkara!" kata saya, sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong tas.

Saya nyalakan satu, trus sodorkan bungkus rokok itu ke dia. Dia terheran-heran! "Rokok nih," saya pertegas tawaran itu. Dia jawab: "Gak papa yah? Memang masih ada persediaan?"

"Masih. Ambil aja satu. Gak enak aku ngrokok sendirian," saya sodorkan juga geretannya. Niat busuk di balik itu semua sih, biar dia lebih komunikatif. Serius loh.

Dia sedot dalam-dalam rokoknya. Dalam bayangan saya, itu rokok kedua batangnya untuk hari ini. Interogasi bisa kembali dilanjutkan!

"Kalau tidur di mana?" tanya saya.

"Di rumah."

"Ooo, pernah tidur di sini?"

"Enggaklah Mas, saya kan punya rumah. Bisa meriang saya kalau tidur di sini. Anginnya kenceng, belum lagi nyamuknya banyak banget."

"Aku sering liat tuh, pada tidur di sono," saya menujuk ke peron seberang, tempat saya biasa melihat rombongan para pemulung bikin tenda-tenda darurat.

Para pemulung itu biasanya nongol pada senja hari untuk bersiap-siap bikin acara camping serius. Ada yang sendirian, berpasangan, ada yang sekeluarga lengkap dengan bocah-bocah kecilnya. Ada pula yang bergerombol sambil bercerita dengan riuh --mungkin lagi membahas topik-topik penting dalam millist indo-pemulung@yahoogroups.com, hihi..

"Mereka memang nggak punya rumah. Jadinya terpaksa tidur di situ. Mereka tukang beling Mas. Kalau saya lain," kata si abang yang ternyata masuk golongan "tukang plastik" itu.

Lalu perbincangan terhenti sejenak, karena dia bertegur sapa dengan seorang bapak-bapak usia 50-60 tahunan yang mengenakan kaus Golkar warna oranye lusuh, celana tiga perempat, sepatu model converse dengan kaus kaki garis-garis, kupluk warna coklat membungkus kepalanya, menggendong keranjang besar di punggungnya.

Si bapak-bapak ini berjalan rada cepat menyusuri pinggiran rel. Gancunya sigap mematuk semua botol dan cangkir plastik yang terlihat oleh matanya.

"Ha, ha... dia sama kayak saya, Mas. Orang asli sini juga," dia menambahkan deskripsi pada kejadian barusan.

"Ooh, botol plastik juga yah. Bukan kayak biasanya memang," kata saya sambil manggut-manggut.

Tiba-tiba, kereta datang. Dia pamit trus berlari ke gerbong pilihannya. Ah, belum selesai saya mengupas tuntas tentang dia. Di antara saya catat adalah: dia idealis yang butuh dorongan semangat, tapi... jalan ke Pasar Minggu (jaraknya lebih-kurang 5 kilometer) aja kenapa musti naik kereta!

Period.

Thursday, January 17, 2008

Jalan sore-sore


Sedang ngapain mereka berkerumun di depan kaca itu, hayo tebak! Yang jelas mereka bukan lagi mengantre tabung gas tiga kiloan yang sekarang beritanya lagi seru itu. Tempatnya terlalu bersih kaan, hihi... Mereka juga bukan sedang nengokin mantan plesiden yang sekalang lagi sakit palah and nggak kunjung dijemput malaikat maut itu. Rumah sakitnya sih bener.

Tapi... gambar hasil jepretan kamera VGA ini diambil di sebuah rumah sakit ibu & anak nun jauh di pelosok sana, di daerah Parung... (sempet mikir juga saya, kenapa hanya ada rumah sakit ibu & anak, nggak ada "rumah sakit bapak2", apakah memang benar ibu dan anak-anak adalah para mahluk lemah yang perlu dibikinin rumah sakit khusus??)

Nah, kali ini tebakan kalian benar. Kejadian itu berlangsung di depan ruang tempat mereka menyimpan para bayi. Tumben cerdas, hehe... The news is: saya lagi jalan-jalan ke rumah sakit buat nengokin temen yang abis melahirkan.

Pemandangan yang mirip cover Pink Floyd bertitel "Momentary Lapse of Reason" ini adalah ruang kaca tempat mereka mendisplay bayi-bayi yang mereka berhasil keluarkan dari rahim ibunya.

Saya membayangkan: cuma bayinya diperlihatkan... coba kalau proses pembuatannya juga dilakukan di balik kaca itu.. pasti penontonnya lebih berjubel!! Ahh, sembunyikan pikiran mesum itu dari publik!

Tapi.. liat deh cara mereka mendanani para mahluk imut tak berdaya itu! Rada nggak manusiawi sepertinya. Tangan sampe kaki dibelenggu dengan selimut tebal. Mirip banget dengan kebab, spring-roll, ataw lunpia semarang gitu kaan. Dan liat gambar paling bawah: dia menangis meraung-raung. Dia hendak meraih minuman susu di sebelahnya --sepertinya sengaja ditaruh di situ-- tapi gimana caranya!

Saya nggak ngerti ide di balik itu semua. Beneran deh, dalam hal ini bayi gajah atau jerapah jauh lebih beruntung. Mereka membiarkan bayi-bayi mereka secara alami belajar menjalani hidup, tanpa memaksakan training berbau bdsm (bondage, discipline, sado-masochism) seperti ini. Dan seingat saya, saya belum pernah mengalami perlakuan seperti ini pas masih bayi lho.

Yang pasti, di situ ada sesuatu yang yang selama ini terlewatkan dari perhatian saya. Terobsesi dengan kematian, mestinya juga mengadopsi berbagai hal yang berhubungan dengan kelahiran. Dua hal yang inherent dalam satu paket kehidupan...

Nanti kapan-kapan saya akan bahas serius tentang ini, bisa jadi tempat ini juga... (ini penutup sok filosofis yang dibikin-bikin, biar kesannya ada ending-nya, hihi...)

Monday, January 14, 2008

Apologi


Tadinya saya ingin bikin puisi berjudul "Selamat Jalan Sobat". Tapi berhubung sampai detik ini yang punya kuasa atas takdir belum mengirim malaikat maut buat menjemput sobat saya tersebut, maka saya urungkan niat itu.

Dan ujung-ujungnya, sekarang saya nggak bisa berspekulasi tentang segala misteri di balik semua ini.
Tiba-tiba, keriuhan itu lenyap. Semuanya begitu senyap!

Saya hanya bisa terduduk memandangi diri saya sendiri --yang saya nggak pernah pahami.