Wednesday, October 24, 2007

Solo Travelling

Sebelumnya saya akan menjelaskan definisi solo travelling, yakni: jalan-jalan sendirian... ke Solo.

Banyak kegembiraan yang saya nikmati dengan bepergian sendirian naik wahana transportasi umum tanpa membawa kendaraan pribadi, tanpa diperbudak rencana, tanpa dibelenggu oleh jadwal perjalanan maskapai anu, kereta anu, atau armada bus anu; tanpa barang bawaan yang berat dan mencolok (misalnya tas gede/ransel, kardus, kantong kresek); tanpa merepotkan orang lain dengan mengajak salah satu pacar kita, teman, sodara, ponakan, dan sebagainya. Certainly, kesempatan buat mendapat kemawahan seperti ini kebanyakan hanya dimiliki oleh kita-kita yang masih jomblo!

Membingungkan? Terlalu bombastis yak?? Suka-suka saya dunk ah! Postingan ini adalah salah satu bentuk aktualisasi diri saya, menjelaskan betapa acara jalan-jalan saya kemarin itu tergolong lumayan nge-rock. Yang jelas, dari situ, saya mencatat beberapa hal penting yang mesti kita perhatikan agar perjalanan kita lancar tanpa intervensi yang gak perlu.

Yang perlu kita lakukan adalah... upss.. tunggu, "perjalanan" yang saya bahas di sini adalah perjalanan darat jarak jauh, semacam Jakarta-Solo kemaren itu. Jadi buat kalian yang berniat melakukan perjalan pendek, semisal dari Jakarta ke Bandung, Cirebon, atau Bogor, nggak perlu baca manual ini deh, hihi..

Okay, dari perjalanan solo saya kemarin itu, berikut adalah beberapa saran yang mungkin bisa dijadiin referensi, yakni:

1. Siapkan duit.
Memang menyebalkan, ternyata duit masih menjadi elemen penting dalam kehidupan yang liar ini. Karena itu, rajin-rajinlah menabung. Siapkan dana khusus perjalanan minimal dua kali lipat dari rencana anggaran pulang-pergi kita, termasuk ongkos buat nginep, ngopi, makan, minum, buang air...

2. Tetapkan tempat atau kota tertentu tempat kita mungkin bakal singgah buat menginap.

3. Tapi jangan terlalu ambil pusing soal waktu!
Berbulan-bulan kita bekerja keras mengikuti ritme yang ditetapkan lingkungan sekitar kita. Dikejar-kejar deadline dan sebagainya. Nah, sekarang waktunya liburan, masak musti taat jadwal juga, begitu kaaan?

4. Bawa barang secukupnya.
Dengan membawa tas ukuran kecil (bukan carrier atau backpack gede), kita bisa bebas bergerak. Nggak capek, selain lebih keren juga. Untuk itu, jangan terlalu banyak membawa baju. Cukup beberapa lembar kaus, sebisa mungkin yang warna hitam biar lebih "awet cuci". Lalu celana jins, merangkapi celana pendek. Pakaliah juga celana dalem bahan kertas yang model sekali pakai (banyak dijual di supermarket terdekat loh!), biar enteng dan nggak usah nyuci. Tapi buat para cewek, saya nggak tahu apakah ada bra berbahan kertas seperti itu. Kalau ada, saya anjurkan untuk memakainya.

Untuk menghemat space dalam tas kita, sebisa mungkin semua pakaian itu ditaruh dalam bentuk gulungan-gulungan padet (mirip sosis Solo). Dengan begitu, akan banyak ruang buat kita menaruh sikat gigi, odol, sabun, parfum, dan sebagainya. Usahakan membawa tas yang banyak kantongnya, biar gaya aja sih, haha.. (tadinya pake "huhu..." tapi diprotes sama Anggun)

5. Jangan berpenampilan mencolok.
Dengan berpenampilan biasa-biasa aja, sebagai man on the street, kita akan lebih aman dari incaran para bandit. Jadi, jangan berpakaian yang aneh-aneh di tempat asing. Ingat, kejahatan bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena penampilan. However... kita juga nggak perlu terlalu ekstrem dalam "penyamaran" itu. Misalnya, mentang-mentang lagi di Jogja, kita mondar-mander pake kain batik dan blangkon biar dikira prajurit keraton... Nggak perlu seserius itu kok. Biasa-biasa aja lah!

6. Komunikatif, tapi jangan terlalu banyak omong dan tanya-tanya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah terminal/kota yang asing bagi kita, jangan langsung clingak clinguk panik dan membaca-baca direktori trayek, atau jongkok trus menggelar peta mudik di lantai. Cara seperti itu akan membuat kita dirubung para calo, mirip seorang koruptor yang lagi dikerumunin wartawan infotainment.

Sebaiknya kita langsung mencari sudut tempat kita bisa berhenti dan ngobrol santai dengan seseorang. Misalnya, toilet, warkop atau penjual minuman di tempat yang rada lega. Di situ biasanya mereka dengan sukarela akan menunjukkan jalan yang benar. Di sudut yang gak mencolok, kita bisa mengamati situasi untuk menetapkan rencana selanjutnya. When things get hot, stay cool!


Kita juga bisa menjalin keakraban dengan penumpang sebelah kita. Lalu, dengan teknik investigative reporting standar, kita menggali informasi penting seputar ongkos, waktu tempuh, dan sebagainya. Tapi ingat, jangan serta merta melontarkan pertanyaan nggak perlu semacam "Gelangnya bagus, beli di mana dik?" "Hobinya apa mas?"... atau "Mbak, ini bus menuju Jakarta kan?" --padahal di jidat bus yang sedang kita naiki itu tertulis jelas gede-gede "Bandung-Jakarta".

7. Jangan menawarkan minuman kepada penumpang sebelah.
Meskipun penumpang di sebelah kita megap-megap dehidrasi, jangan tawarkan minuman kepadanya. Kalau itu yang terjadi, lebih baik Anda langsung pindah ke sebelah penumpang yang lebih sehat (daripada dituduh mau berbuat aneh-aneh, gitu loh).

Udah sementara cuma itu yang saya simpulkan. Ada yang pingin protes?

Tuesday, October 16, 2007

Pulang jadinya....

Gara-gara iseng pengen ikutan ribut2 pulang kampung (setelah berhari-hari berita di tipi nongolin orang rame2 mudik itu) saya langsung nelpon ke agen bus buat mesen tiket. Si operator bilang, masih ada satu tempat duduk. Bangku nomer 2, artinya saya dapet tempat paling depan, kesempatan menikmati pemandangan yang widescreen! Harga tiket masih seperti biasa, nggak naik sebagaimana diberitakan di koran dan tipi.

Berbekal sebuah tas cangklong kulit warna coklat kebanggaan saya --yang isinya sebotol sampo, sabun muka, odol, sikat gigi, parfum edete merek gunung es, deodorant cap kapak, cat kuku item, notes transtipi, bolpoin, rokok2, baju kaus warna item tiga lembar, satu hem garis-garis (siapa tau di kampung ada yang mau ngajak kondangan, hihi..), daleman jenis waste-away, dan sebagainya-- saya berangkat dari home-base saya di Bogor Barat, tepat pukul sembilan seprapat. Dan ternyata, saya tiba terlalu cepat.

Bus baru akan berangkat jam dua siang. Kalau saya balik lagi ke rumah, bisa jadi saya bakal ketiduran. Waktu luang empat jam itu saya isi dengan klayapan di mal, bengong, ngopi, beli dompet baru yang berinisial nama saya (buat gantiin dompet gambar tengkorak yang udah mulai menyebalkan itu).

Ah, akhirnya habis juga waktu luang saya itu. Bus jadi berangkat jam setengah tiga. Perjalanannya cepet, datar-datar saja, nggak ada yang seru, nggak macet seperti gambar-gambar yang ditayangkan di tipi itu! Bisa jadi, berita mengenai kepadatan arus lalu lintas di jalan tol anu, pasar tumpah di daerah anu dan sebagainya itu cuma akal-akalan media massa elektronik buat naikin rating yah, hihi... (bersambung)

* Warnet tempat saya ngetik ini lumayan bagus, ber-AC, layar LCD, koneksi cepet, boleh ngrokok, tapi... software bluetooth-nya nggak ke install bagus. Jadinya, foto2 terpaksa menyusul belakangan yaa, huhu...

Wednesday, October 03, 2007

I'm dreaming of a white Lebaran....

Pada setiap penghujung bulan puasa seperti ini, saya selalu kehilangan sesuatu. Ada semacam kesedihan yang mengharu biru. Dan semakin hari, saya memang jadi semakin susah menyambut bulan Ramadhan ini dengan penuh sukacita (sebagaimana ciri orang-orang beriman, hihi..). Bisa jadi, karena puasa selalu bermuara pada... Lebaran!

Mood saya kali ini adalah memandang Lebaran sebagai belenggu tradisi yang menyebalkan. Kenapa harus ada acara seperti ini?? Okay, biar adil, here is the ups and downs....

Sisi positip Lebaran:

1. Dapat merasakan "hikmah puasa", setelah sebulan penuh menjalani ritual biologis dengan penuh keprihatinan, pada hari pembalasan itu kita bahagia karena boleh makan, minum, merokok di mana pun dan kapan pun tanpa takut berdosa kepada Tuhan ataupun sungkan kepada calon mertua. Boleh makan ketupat sayur bikinan nenek sampai perut kembung.

2. Merasakan nikmatnya menjadi sosok yang kembali fitri, bersih dari segala dosa dan utang. Gejala yang paling jelas: pikiran jadi ringan melayang-layang karena dompet rada tebel setelah dapet THR, pake baju-clana-sepatu baru, nenteng henpon baru, kamera baru.. ups.

3. Dapat kesempatan bersilaturahmi dengan kerabat dan handai tolan, menemukan aktualisasi diri di kampung halaman. Misalnya, setelah berbulan-bulan bekerja keras bagai kuda di Ibu Kota (Koes Plus banget yak!), kita bisa petentang petenteng di hometown kita. Mondar-mandir pake mobil kinclong di jalanan mulus dan bersih yang biasanya senyap itu, berjubel di tempat jajanan enak khas daerah masing-masing. Senyum ceria mengembang di mana-mana.

Adapun sisi negatipnya ialah...

1. Menimbulkan kesedihan buat yang gak bisa pulang ke kampung halaman padahal sebetulnya pengen. Setiap pertanyaan "pulang kampung gak?" dirasakan sebagai tikaman yang menghunjam ke ulu perasaan. Bisa karena alasan ekonomis, seperti keluarga Mas Maman si tukang rokok di sebelah kantor itu. Bisa pula karena.. ah sudah, sudah! Saya nggak mau curhat di sini.:">

2. Udah itu doang, saya gak bisa mikir yang lebih banyak lagi. Saya nggak bisa manjang-manjangin postingan ini, huhu....


****

Saya sendiri sebenarnya ingin sekali pulang berlebaran di kampung halaman, bertemu kedua orangtua tercinta. Bersama-sama ke lapangan deket rumah buat beribadah. Sungkem. Menikmati canda ria dengan para saudara, ngobrol ngalor ngidul cela-celaan. Duduk di seputar meja yang di atasnya terdapat sebarisan toples berisi aneka cemilan yang dibikin sendiri sedari kemaren (tapi kacang bawang itu rada gosong gara-gara ibu nggorengnya sambil ngantuk....) Sirup prambosen warna merah dengan air yang hangat. Lalu, lontong opor ayam lengkap dengan segala elemen pendukungnya.... Dan sorenya menyambangi tetangga, teman-teman sekampung, besoknya bertandang ke para famili... But life must go on, rite?