Thursday, January 22, 2009

E-mail itu...

Sore kemarin, seorang teman bertanya, "Alamat e-mail-nya apa?" Saya berikan account saya yang berjudul "contong.lincip" et yehu (yang cuma saya pakai buat login ke facebook and friendster, hehe...) "Ada apa toh?" saya tanya ke dia. "Ini ada yang saya mau forward, kesian banget deh dia!" jawabnya dengan wajah serius. Wah! Pasti isinya permintaan sumbangan atau apa gitu, ada kata "kesian" soalnya.

Sejam kemudian saya iseng membaca-baca e-mail baru. Di antara setumpuk e-mail "facebook" dan "friendster", terselip nama teman saya tadi. Lalu saya klik, dan.. astaga! Di bagian lead dari paragraf-paragraf itu berderet kata-kata:

"Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku...."

Entah apa yang ada di benak teman saya sewaktu memutuskan untuk menyampaikan kabar berbau "konflik rumah tangga" itu kepada saya. Entah bagaimana perasaan saya membaca kalimat awal tersebut (takjub dan sedikit nyengir sepertinya). Dua tahun lalu, seandainya saya membaca kalimat seperti itu, pasti pikiran saya langsung: "Dari tujuh belas tahun dotkom ya!" Tapi kali ini mestinya bukan, mengingat teman yang mengirim e-mail itu adalah cewek yang sepertinya alim.

Saya tarik ke bawah, tulisan itu ternyata panjaaang sekali. Saya hitung karakternya sampai 12.000 karakter. Panjang banget, bisa ngabisin tiga halaman kalau dimuat di majalah. Dibutuhkan ketekunan luar biasa untuk membuat e-mail sepanjang itu, meskipun di dalam ceritanya juga "mengutip" beberapa e-mail yang juga lumayan panjang. Cara bertuturnya cukup lancar, meskipun kurang gramatikal. Perhatikan kutipan di atas, ada kata "meskipun" dan "tapi" di satu kalimat. Itu kan nggak boleh ada dalam kaidah bahasa mana pun!

Nah, karena kemarin itu saya lagi nggak ada kerjaan, saya baca e-mail-nya sampai habis (dan karena sampai detik juga ini saya belum ada kerjaan, maka jadilah postingan ini.) Saya ikuti dengan tekun isi curhat dalam e-mail itu. Ceritanya, biasalah, tentang seorang istri yang suaminya selingkuh dengan bekas teman kuliahnya bla-bla-bla, lalu membaca e-mail percintaan si suami yang nggak sengaja kebuka, dan sebagainya.... baca sendirilah di sini.

Cerita itu bisa jadi menarik menurut pandangan orang-orang tertentu, terutama para cewek. Tapi buat saya, apa urusannya? Kisah romantis seperti itu menurut saya sudah setua peradaban, sudah ada sejak dahulu kala dari zaman Adam dan Hawa. Konon, mereka diusir dari surga gara-gara kepergok berduaan mulu tanpa bisa menunjukkan surat nikah... bener nggak sih?? Trus hubungannya juga apa, hahaha...

Dan akhirnya, kalaupun ada "pesan moral" yang bisa diambil, itu adalah: Jangan pernah lupa untuk logout setiap selesai membaca e-mail. Bila perlu hapus semua cookies, histories, cache, offline data, dan sebagainya setiap kali mau menutup browser, di komputer mana pun juga --kepunyaan sendiri atau orang. Dan ini adalah prosedur standar yang mesti kalian lakukan di semua komputer! Mengerti? Awas kalo enggak.. :-"

Peace out!

Friday, January 09, 2009

tahun baru apa

Saat ditanya berapa umurnya, jarang-jarang orang balik bertanya: "Umur menurut kalender Hijriyah, Masehi, atau kalender ciptaan saya sendiri?" Kebanyakan memang langsung menyebut angka menurut kalender Masehi. Tapi, begitu ditanya "lebih penting mana perayaan Tahun Baru dengan 1 Suro", jawabannya bisa beraneka ragam menurut keyakinan masing-masing. Nah, menurut saya sendiri, lebih penting mana?? Saya tidak tahu. Pasti kalian menebak saya lebih mementingkan yang disebut belakangan demi melihat tongkrongan saya yang kegendruwo-gendruwoan, hihi....

Akhir-akhir ini saya berkesimpulan: dua-duanya nggak penting! Saya, sabagaimana manusia-manusia lain, memang merasa bahwa semakin lama pertumbuhan sel-sel di tubuh saya semakin melambat. Ini adalah alur biologis yang sering dihubungkan dengan dengan umur, atau lebih tepatnya dengan waktu. Saya percaya dengan waktu. Tapi, bukan berarti saya harus percaya, mendefinisikan seluruh pengalaman hidup saya, dengan satuan umur atau kalender, yang nota bene adalah buatan manusia. Saya lebih kagum pada Sang Pencipta Waktu daripada para pembikin kalender yang sekadar menempel-nempelkan angka. (Got my idea? Skip this paragraph if you didn't.)

Jadi, kenapa saya harus selalu bergabung dalam ritual yang dilakukan para "pemuja kalender" itu setiap malam pergantian tahun? Bisa jadi saya terlalu pongah menyimpulkan bahwa 90 persen lebih para peserta acara "hura-hura" ataupun "permenungan" itu cuma mendompleng momen. Kita kan bisa melakukannya tiap hari kalau mau. Tiap malam kita bisa rame-rame ngitungin jam, jogat-joget di lantai diskotek kayak cacing digaremin, minum bergelas-gelas jekdi atau chivas, niupin terompet kertas sampai lepek, bikin resolusi baru atau sok-sok merenung memikirkan nasib.

Tapi setiap tindakan kan harus ada alasan yang bisa diterima orang lain, bukan? Supaya kita nggak dibilang absurd. Dalam terminologi psikologi sosial yang mbuh-raruh saya lupa saya baca entah di mana, selalu ada yang disebut sebagai conformity.... bla-bla-bla

Juntrungan tulisan ini sebenaranya apa sih?? Gak tahu! Pusing aku. Saya memang sering sok-sok ribet buat menerangkan sesuatu yang sederhana. Hari-hari kemarin itu, saya saya memutuskan untuk menghabiskan malam pergantian tahun tanpa hura-hura bareng teman-teman, tanpa alkohol, tanpa merenung juga. Nggak seperti bertahun-tahun sebelumnya. Alasan sebenarnya: iseng. Dan di sini, sebenarnya saya cuma mau pamer bahwa saya habis kelayapan ke luar Jakarta pas kalian pada bertahunbaruan, eh, eh, eh....