Sunday, January 20, 2008

Perbincangan nggak penting


Siang itu, di Stasiun Pasar Minggu Baru, pas saya lagi duduk di peron nungguin kereta dari arah utara, laki-laki di sebelah itu tiba-tiba mengajak ngobrol. Dia buka dengan: "Zaman sekarang susah banget ya nyari duit!"

Terlalu umum, nggak cerdas, retorika khas basa-basi! Itu yang ada dalam pikiran saya.

Saya pun menengok, meneliti penampilannya, dan sekilas terlihat di matanya dia memang pingin ngajak ngobrol (untuk kesekian kalinya itu terjadi). Dan... tampangnya rada aneh, antara letih dan merasa sedang terkutuk untuk terus bekerja.. jadi terusin aja. Saya membalas pernyataan datar itu dengan nyengir kuda.

"Bawa ini yah?" tanya saya sambil nunjuk ke dagangan aneka pernak-pernik cewek macam jepit rambut, gelang, kalung, dan sebagainya yang teronggok di sebelah kiri saya. Posisi duduk saya adalah di antara si abang-abang dan pernak-pernik itu.

"Enggak, Mas. Saya nyari botol akua..."

Astrajingga... ternyata karung plastik kusam di dekat kakinya itu punya dia! Di sebelahnya ada gancu. Tapi kaus warna putih, sandal jepit, dan celana panjang warna khaki itu sungguh bukan ciri khas para pemulung.

"Nggak papa kan, orang Kalibata nyari botol akua? Yang penting halal kan?" dia menambahkan. Ah, pertanyaan retoris lagi. Tapi yang ini rada nyeleneh menurut saya.

"Lha memang apa hubungannya! Orang mana aja boleh kerja apa aja yang penting gak bikin perkara dengan orang lain...," saya menjawab dengan sok-sok bijak, "By the way, lo orang sini asli gitu? Tinggal di mana?"

"Iya Mas, saya orang sini asli, tinggal di Gang Pomad. Daripada pusing di rumah mendingan kan kerja gini buat nyari makan. Zaman sekarang kan orang kalo nggak kerja nggak bisa makan, betul tidak?" ujarnya (kata "betul tidak" itu tambahan saya sendiri biar mirip2 gaya Aa Gymn, hehe...)

Saya mengangguk-angguk biar kesannya serius.

"Boleh kan Mas, saya ngumpulin botol-botol plastik bekas itu? Gak dilarang kan?"

Aarggh.. kenapa pula ini! Saya menghela napas puanjaaaaang.

"Gini yah Bang... kalo yang lo kumpulin itu botol-botol plastik bekas yang berserakan di jalan, ya nggak apa-apalah. Itung-itung mbantu bersihin sampah. Kalau yang lo ambil adalah botol-botol baru yang masih di toko, itu baru perkara!" kata saya, sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong tas.

Saya nyalakan satu, trus sodorkan bungkus rokok itu ke dia. Dia terheran-heran! "Rokok nih," saya pertegas tawaran itu. Dia jawab: "Gak papa yah? Memang masih ada persediaan?"

"Masih. Ambil aja satu. Gak enak aku ngrokok sendirian," saya sodorkan juga geretannya. Niat busuk di balik itu semua sih, biar dia lebih komunikatif. Serius loh.

Dia sedot dalam-dalam rokoknya. Dalam bayangan saya, itu rokok kedua batangnya untuk hari ini. Interogasi bisa kembali dilanjutkan!

"Kalau tidur di mana?" tanya saya.

"Di rumah."

"Ooo, pernah tidur di sini?"

"Enggaklah Mas, saya kan punya rumah. Bisa meriang saya kalau tidur di sini. Anginnya kenceng, belum lagi nyamuknya banyak banget."

"Aku sering liat tuh, pada tidur di sono," saya menujuk ke peron seberang, tempat saya biasa melihat rombongan para pemulung bikin tenda-tenda darurat.

Para pemulung itu biasanya nongol pada senja hari untuk bersiap-siap bikin acara camping serius. Ada yang sendirian, berpasangan, ada yang sekeluarga lengkap dengan bocah-bocah kecilnya. Ada pula yang bergerombol sambil bercerita dengan riuh --mungkin lagi membahas topik-topik penting dalam millist indo-pemulung@yahoogroups.com, hihi..

"Mereka memang nggak punya rumah. Jadinya terpaksa tidur di situ. Mereka tukang beling Mas. Kalau saya lain," kata si abang yang ternyata masuk golongan "tukang plastik" itu.

Lalu perbincangan terhenti sejenak, karena dia bertegur sapa dengan seorang bapak-bapak usia 50-60 tahunan yang mengenakan kaus Golkar warna oranye lusuh, celana tiga perempat, sepatu model converse dengan kaus kaki garis-garis, kupluk warna coklat membungkus kepalanya, menggendong keranjang besar di punggungnya.

Si bapak-bapak ini berjalan rada cepat menyusuri pinggiran rel. Gancunya sigap mematuk semua botol dan cangkir plastik yang terlihat oleh matanya.

"Ha, ha... dia sama kayak saya, Mas. Orang asli sini juga," dia menambahkan deskripsi pada kejadian barusan.

"Ooh, botol plastik juga yah. Bukan kayak biasanya memang," kata saya sambil manggut-manggut.

Tiba-tiba, kereta datang. Dia pamit trus berlari ke gerbong pilihannya. Ah, belum selesai saya mengupas tuntas tentang dia. Di antara saya catat adalah: dia idealis yang butuh dorongan semangat, tapi... jalan ke Pasar Minggu (jaraknya lebih-kurang 5 kilometer) aja kenapa musti naik kereta!

Period.

5 comments:

Anonymous said...

UUhhhmmm......jadi aku si pemulung itu??? Jadi "kencan" kita kemaren itu adalah introgasimu?? huaaaahh.....kecewah...hancur hatiku!!!!

Anonymous said...

hah??? jadi....itu mbak nenni?
tega kamu, Gus! kawan macam apah!

Anonymous said...

gancu apaan sih? :">

Anonymous said...

gancu tuh bukannya sejenis make up ya?

Anonymous said...

hooo gincu ya maksute? artikel yang aneh..

hihihi