Thursday, November 29, 2007

Sejarah Berdirinya Blog Ini


Alkisah, waktu itu terjadi perang antara Pangeran Diponegoro melawan Kumpeni. Para
combatant pengikut sang pangeran, yang rata-rata orang Jawa, membuka base-camp di sebuah ceruk geologis di utara Jogja bernama Goa Selarong. Tak jelas, kenapa mereka memilih tempat itu sebagai persembunyian setelah kabur dari sebuah dusun bernama Tegalrejo (yang artinya: crowded farm). Juga, kenapa tempat itu dinamakan "Selarong". Di film Pahlawan Goa Selarong sepertinya juga nggak dijelaskan epitimologi kata itu.

Perang Diponegoro konon berlangsung dengan sengit. Berbagai trik dan strategi gerilya legendaris, di antaranya
sapit urang (capit udang), yang mereka jalankan berhasil menewaskan tak kurang dari 15.000 tentara Belanda dan mengakibatkan kerugian materiil sebanyak 20 juta gulden (harga satu henpon nokia cdma second pada masa itu adalah 0,35 sen...*tapi jangan ditawar mulu ya ndah!*)

Oh iya, strategi sapit urang dimulai dengan pertempuran head-to-head antara pasukan musuh dan pemancing yang tugasnya adalah kabur ke belakang begitu pasukan musuh mendesak maju; dan begitu pasukan musuh masuk terlalu dalam, pasukan penjepit langsung menyerbu dari kiri dan kanan mereka. Gitu doang sih. Kalo kurang jelas, tontonlah film Braveheart!

Data mengenai perang ini sebeneranya cukup lengkap. Mulai dari kurun waktu peperangan (1825-1830), jumlah pasukan Belanda yang diterjunkan, periodisasi penyerahan dan penahanan sang pangeran, hingga tempat sang pangeran kharismatik ini dimakamkan. Semuanya bisa di-browse kalau kita mau.

Tapi saya nggak bisa nemu seberapa besar kekuatan pasukan sang pangeran. Berapa jumlah pasukan kavaleri di belakang beliau, berapa jumlah pasukan pejalan kaki, seberapa besar kerusakan materiil di pihak kita, dan sebagainya.

Dan yang juga penting, apakah benar pangeran kita ini (pas lagi sibuk berperang) ke mana-mana selalu menunggangi kuda kesayangannya yang bernama Gagak Rimang --mirip si Lucky Luke dengan Jolly Jumper-nya, Zorro yang menunggangi Tornado, atau Lone Ranger yang punya kendaraan bernama Scout.

Lalu bagaimana dengan deskripsi eneh si Chairil Anwar tentang "pedang di kanan dan keris di kiri" dalam puisi berjudul Diponegoro itu? Ribet kaan, megangin senjata tajam di tangan kanan dan kiri sambil mengendali kuda supaya baik jalannya!! hehe...

Saya cuma bisa membayangkan sang pangeran, duduk dengan gagah di atas si Gagak Rimang
, mengacungkan sebilah keris pusaka bernama Kiai Omyang. Ah, mungkin Mel Gibson bersedia kalau ditawari untuk memerankannya di film. Tapi.. enggak lah! Wajahnya kurang Jawa dan logatnya kurang medok... Mungkin si Tora Sudiro, dengan segala kemampuannya untuk memancing para abege berpacaran di gedung bioskop, yang lebih pas memerankan beliau.

...........

Tuesday, November 20, 2007

Selingan


Sore itu, di kota hujan yang lagi nggak hujan, di sebuah trotoar yang ribet karena terlalu banyak pejalan kaki melintas, saya berjalan sambil clingak clinguk nyari sesuatu tapi nggak tau apakah itu. Rada berat beban hidup saya, karena di pundak kanan nyangklong tas coklat kebanggaan yang isinya lima potong kaus dan dua clana pendek plus barang-barang stationary lainnya (lho?).

Sedangkan tangan kiri megangin kantong kresek ukuran medium berisi sekotak roti breadtalk titipan ponakan, tiga dompet ajaib (magic wallet) calon oleh-oleh buat dua temen saya si gemblung I dan gemblung II, martabak manis, dan sebotol madu pohon kapuk randu.

Saya lapar karena belum makan yang beneran dari tadi pagi --gara-gara tidur jam lima pagi dan bangun jam tiga sore. Dan sekarang saya berada di tempat yang nggak tepat. Trotoar yang berubah fungsi jadi pusat jajanan itu penuh dengan gerobak-gerobak makanan yang 90 persen di antaranya dilengkapi dengan kompor dan wajan (detail banget kan deskripsinya, hihi...). Ada tukang doclang, bubur ayam, sate padang, martabak manis dan... martabak telor!

Saya berhenti di depan salah satu gerobak. Trus, "Bang, bebek yang biasa satu aja yak!" kata saya ke si abang martabak, yang lantas menyodorkan bangku plastik kepada saya. "Silakan tunggu Mas," katanya, santun.

Di belakangnya ada sepasang cowok-cewek yang duduk-duduk di undakan teras pertokoan. Anak kuliahan sepertinya. Tiba-tiba, si cewek berdiri di sebelah saya. "Permisi Mas, boleh saya mengganggu sebentar?" ujarnya.

Dan tuh cewek (sebut saja namanya Lastri) pun memulai orasinya:

"Saya dari fakultas ilmu blah-blah-blah.. insetitut blah-blah-blah.. ingin melakukan penelitian tentang pola konsumsi pembeli martabak telor di Bridge Rogue (nama lembaga dan tempat saya samarkan --
Red.). Nggak keberatan kan Mas, kalo saya survei?"

Saya sedikit lega, karena dia bukan semacam pengganggu yang suka menawarkan bisnis em-el-em, atau cewek abegeh yang mo nawarin jasa em-el.... hush! Saya liat tampangnya manis juga. Ekspresi wajahnya campuran antara takut, kagum, dan rada memohon gitu...

"Boleh," saya menjawab sambil nyengir formalitas.

Tuh cowok menyodorkan sebendel kertas dan bolpoin, lalu dia mulai menulis.

"Boleh tau namanya siapa?" katanya sambil beringsut ke sebelah tempat duduk saya. Anak kuliahan, biar semanis apa pun pasti baunya kecut! hihi...

"Jimmy," kata saya (sambil siap-siap bilang "Morison" kalo ditanya nama lengkap).

"Usianya berapa Mas?" si Lastri bertanya, matanya kedap-kedip.

"Tujuh belas tahun," saya jawab dengan mimik sok-sok malu. Ehh, dia tulis beneran! Oon... "Mbak, saya kan bercanda! Biar gini-gini saya udah tuwir taook, hahaha.. Mbak kok penurut banget sih.. udah tulis aja dua tujuh ples-ples!"

Setelah itu, biodata lengkap mulai dari pekerjaan, penghasilan sebulan, masih jomblo ato udah nikah... semuanya terisi di list. Juga soal "berapa kali dalam sebulan mengonsumsi martabak telor", "telor bebek ato ayam", "kenapa milih telor bebek", "apa yang memotivasi pembelian martabak di sini", "dapet informasi dari mana bahwa di sini aja tukang jualan martabak", "orientasi rasa, merek, atau lokasi", "kalo di sini nggak jualan lantas beli martabak di mana"... dan sejenisnya.

Semua pertanyaan itu, dengan kata "martabak" yang diulang-ulang di setiap kalimat, membuat perut saya tiba-tiba kenyang. Serasa habis makan lima loyang martabak telor bebek edisi spesial! Jadinya, siapa ngerjain siapa!

Saya pun pamit ke mereka, setelah bayar dan ngambil martabak yang udah seprapat jam tergeletak di gerobak si abang.

"Dek, saya jalan dulu yak.. selamat berjuang!" tereak saya, trus masup ke dalam angkot (gaya amat kaan!)

"Iyaah, makasih loh, ngrepotin gini...," dia melambaikan tangan sambil tersenyum simpul.

Ah, berlalu sudah cobaan hidup...


***

Wednesday, November 14, 2007

Suddenly I Miss You

My goodness, now I can spell out these words again. I can't remember when the last time I called you in the middle of night just to say how much I thank to you, and how I would be missing you through this restless journey. I kept calling you, though it seemed it was too much for you. I will never regret it.

And now let's say it is the beginning of my never-ending midnight
call.

I am missing you now in the most peculiar way. The beauty of your luxurious crystal eyes, the touch of your soft skin and the warmth of your tears running down your honey lips when I kissed you goodbye. Should I beg you another one! I miss the misery and pain we shared as our only pleasure, the fear as our yearning, the dark clouds of our mischievious sunset, and the brightness of our unpronounced future. Arrggh.. let me be thrown back into the earth.

Dear you, wherever you are, I've never been so insecure as this time. Something will happen in the morning; you will be the only one to know what it is. But don't leave me any message to give a warning. Don't send me an e-mail. Don't send an SMS. Don't call me from the middle of a weekend traffic jam. And don't write any respond to this posting... I will call you at the first place, for Your shake!

___________
* Dear reader, please be willing to leave a respond if you are not God.

Sunday, November 11, 2007

Berubah!

"Lu sekarang keliatan lebih fresh," kata seorang teman saya, setelah beberapa bulan nggak ketemuan.

"Masak? Perasaan biasa-biasa aja kok. Malah dari tadi siang belom mandi, belom sarapan juga," saya menjawab sambil ngucek-ngucek mata, ngelirik jam di dinding itu (pukul empat sore!)

"Bener lho, keliatan gemukan dan putih... Lu narkoba ya?"

"Anjrit! apa hubungannya!"

"Iyah kayak orang abis keluar dari rehabilitasi narkoba! hihi..."

Saya nggak sempet ngeles dengan bilang bahwa pacar dia (yang gimbal kayak raksasa berambut api itu) jauh lebih gemuk dari saya --dan perlu dorongan semangat untuk berolahraga biar oversize di perutnya nggak kebanyakan.

Tapi saya cuma nyengir, nyadar bahwa tongkrongan saya sekarang memang keliatan rada nggak beres diliat dari sudut pandang tertentu.
Mungkin dipengaruhi oleh mentalitas yang rada menyimpang akibat situasi sosial dan ekonomi di sekitar yang kurang kondusif bagi eksplorasi verbal ke berbagai arah yang mendasari gaya perbloggingan saya seperti beberapa bulan silam... blah, blah, blah.... embuh lah!

Rambut saya udah nggak panjang lagi, tinggal sepundak sekarang. Baju nggak musti item. Malah, kemaren pas di Bandung, saya beli kaus warna ijo kamar mayat yang ada The Scream-nya si Edward Munch. Saya nggak fanatik dengan warna hitam, meskipun 90 persen baju dan celana saya, termasuk celana dalem, berwarna hitam.

Kata seorang temen baru, saya sekarang lebih rapi dan wangi (berkat parfum semprot yang baunya mirip-mirip eau de cologne 4711 itu). Nggak gampang bikin huru-hara kayak dulu, dan sekarang malah jadi mirip iblis yang bertobat! Aargh..... saya nggak bisa jawab, karena saya memang nggak tau kenapa.

Dan secara iseng, mereka pun mencoba menggali gosip di sekitar kehidupan saya, mencoba mencaritahu apa yang terjadi, nanya-nanya siapa cewek yang lagi deket dengan saya, masih suka jalan sama abege-kah, kapan mau menikah, dan sebagainya. Menarik sekali menonton orang-orang yang sedang menonton kita.

Mereka nggak pernah baca blog ini, dan saya nggak meminta mereka buat ke sini. Seandainya mereka baca blog ini, pasti sebagaimana kalian mereka bakal nanya: kenapa postingan-postingan baru di blog ini cenderung menyebalkan dan lebih ruwet daripada yang dulu!

Saya ingin menjawab dengan kutipan lagu Ozzy Osbourne, bahwa saya memang lagi going through changes.... bahwa perubahan adalah pitrah yang selalu melekat pada kehidupan manusia sejak zaman Adam dan Hawa... bahwa dampak daripada pemanasan global yang berpengaruh pada perubahan perilaku cuaca akhir-akhir ini ternyata juga saya rasakan dalam mood untuk mengetik asal-asalan seperti ini... dan seterusnya.

Itu semua alasan yang dibikin-bikin. Padahal saya sendiri nggak tahu kenapa! hihi... Udah ah, suara ayam berkokok... waktunya tidur!

----------------
* Postingan ini tercipta berkat dorongan secangkir kopi jekdi, dan iringan musiknya Moonspell.

Tuesday, November 06, 2007

Pengamen

Berikut adalah cerita yang konon, menurut gosip yang saya dengar, merupakan kisah nyata!

Pada suatu malam di sebuah taman di bilangan Jakarta Pusat bagian tengah rada ke timur laut, seorang pengamen duduk sendirian di sebuah bangku di bawah pohon angsana. Dia memeluk gitar kesayangannya, tatapan matanya kosong. Dia lagi gelisah. Duit di saku celananya tinggal 500 perak, sementara ada dua agenda penting yang mesti dia jalani malam itu, yakni makan dan tidur. Dengan duit cuma segitu, dia harus memilih: beli makanan pengganjal perut atau lotion anti-nyamuk.

Dia memutuskan untuk membeli item kedua. Biar perut keroncongan, yang penting kan bisa tidur lelap gak diganggu nyamuk, dan esok pagi bisa bekerja dengan kondisi tubuh yang bugar. Soal makanan, bisa ngutang nanti sehabis bangun....

Saya nggak mendengar detail cerita tentang bagaimana dia beberapa bulan kemudian bisa sampai tergabung dengan sebuah kelompok musik tenar. Rombongan ini terkenal di Tanah Air, dan para personelnya sering disyut di acara infotainment berbagai stasiun televisi. "Sebuah Cinderella story!" kata teman saya yang mendapat cerita itu dalam sebuah wawancara informal. Oh iya, nama grup musik tersebut kebetulan rada mirip dengan alamat blog ini (betapa menyebalkan!)

Menurut saya, itu adalah kejadian yang biasa-biasa aja. Nggak ada yang ajaib dalam perubahan nasib seseorang. Dari miskin tiba-tiba jadi kaya atau sebaliknya, itu kan hal yang lumrah! (Kalau misalnya tiba-tiba ada rombongan mahluk alliens mendarat di bumi, di sebelah makam pahlawan Kalibata, trus mereka main-main dengan alat radioktif yang bisa memutasi sel-sel tubuh manusia di sekitarnya dan tiba-tiba tampang saya berubah jadi jauh lebih ganteng daripada Orlando Blum, baru itu disebut keajaiban, hihi...)

Tapi aargh... banyak yang terlalu harfiah mengikuti cerita semacam pengamen Cinderella itu, cerita dramatis yang seringkali mengundang antusiasme. Dengan keterbatasan ruang pemikiran, banyak anak kampung sebelah yang menganggap bahwa "keajaiban" cuma bisa diraih dengan jalan pintas! Mereka ingin meraih sukses yang sama, dengan mengimitasi jalan hidup sosok-sosok idolanya. Dalam benak mereka, salah satu jalan yang mulus untuk tenar, keren, kaya, sekaligus keliatan romantis and nyeni
tapi nggak musingin dan bikin capek, dan ujung-ujungnya gampang ngerayu cewek, adalah dengan menjadi anak band!

Hasilnya, kita pun buanyak sekali mendengar "musik" dengan sound (dan lirik cengeng) yang mirip-mirip setiap kali menyalakan TV, masuk ke tempat belanja, naik angkutan umum, berhenti di lampu merah, atau masuk ke halaman sebuah sekolah menengah yang murid-muridnya lagi mengadakan pentas "seni"... Ah, selamatkan negeri ini dari polusi suara! Bangkitlah Indonesiaku! Ganjang malingsia ! (gak nyambung babarblas, hihi..)


***

Saya nggak alergi dengan musik Tanah Air. Buktinya, saya udah masang lagu Koil terbaru ("blacklight shines on"), satu album penuh, di jaringan server kantor dan merekomendasikan kepada temen-temen saya di sini untuk mendengarkannya.

Thursday, November 01, 2007

Pemanasan global

Pernah naik kereta rel listrik Jakarta-Bogor? Buat yang belum tahu, ada dua tipe KRL di jalur ini, yakni kelas ekonomi dan AC/eksekutif. Perbedaan: yang ekonomi harga karcisnya Rp 2.500, kalau AC harganya Rp 13.000. Kereta ekonomi mampir di 26 stasiun, sedangkan AC cuma di tiga-empat stasiun dari keseluruhan stasiun. Oh iya, sebagai informasi tambahan, kereta Jakarta-Bogor ini juga melayani rute Bogor-Jakarta loh (informasi yang konon nggak penting-penting amat tapi musti dipaparkan juga di sini!)

Persis dengan yang kalian bayangkan, kereta ber-AC lebih nyaman. Selain karena penumpangnya nggak berjejal, tempat duduknya empuk, lebih bersih dengan interior yang mirip kereta di Jepang, pakai pendingin udara, nggak digerecoki pedagang asongan and pengamen (saya pribadi kurang respek dengan mereka karena mereka nggak pernah bawain lagu black metal), pintu automatic selalu tertutup jadi kalaupun ada copet masuk pastilah copet yang lebih bermodal... juga melaju lebih kencang. Segalanya berjalan lancar dan tenang. Saya sering melihat penumpang terlelap tidur dengan damai.

Sedangkan di kereta ekonomi, kehidupan berjalan lebih keras. Bangkunya keras, jendela banyak yang pecah, pintu nggak ada yang berfungsi. Pengamen dari berbagai aliran musik (tapi nggak ada yang black metal) mondar-mandir menyuguhkan beragam polusi suara. Pedagang asongan berteriak-teriak dengan vokal yang parau; dari pedagang minuman, makanan, rokok, peniti, korek api, bolpoin, bantal tiup, DVD bajakan, alat-alat rumah tangga, tenda pramuka, hingga perahu karet... (yang terakhir-terakhir saya ngibul).

Saya sempat berpikir: mungkin karena alasan itulah harga karcis kereta ini cuma Rp 2.500. Kita bisa menyisihkan Rp 10.500 kita untuk belanja barang-barang tadi atau ngasih tips buat pengamen. Pilihan hidup memang macem-macem kok.

Soal kepadatan penumpang, itu yang paling ngetop. Saking padetnya, banyak penumpang yang bergelantungan di pintu karena nggak kebagian space buat berdiri di dalam. Bahkan ada yang overakting dengan nongkrong di atas atap gerbong. Mereka bukan sedang berdemo, ngambek atas situasi nggak kondusif di dalam gerbong, atau mau ngintip cewek mandi di kali sebelah rel, atau putus asa dengan kehidupan menyedihkan yang mereka jalani, atau dorongan religius untuk lebih dekat dengan yang di atas... bukan, bukan kayaknya. Sepertinya cuma buat gaya-gayaan aja sih.

(Di lubuk hati yang rada dalam, saya kadang ingin melakukannya juga, hihi... Bayangkan, di sebuah sore yang cerah, duduk anggun di atap kereta yang melaju kencang, diiringi "Ride of the Valkyries"-nya Richard Wagner.. wuihh!)

Situasi di dalam gerbong sendiri... nah! Dari tadi sebenarnya saya mau bercerita tentang itu. Tapi berhubung saya lagi susah buat fokus, letih sehabis perjalanan Bogor-Gondangdia-Sabang (buat beli lunpia)-Sarinah-Kalibata (naik KRL juga), cerita malah jadi ke mana-mana!

Begini, buat kalian yang udah lulus dari sekolah dasar pasti tahu alasan kenapa pada saat gerbong KRL ekonomi penuh dengan penumpang, udara menjadi lebih pengap, gerah, panas.... nggak selega ketika jumlah penumpangnya sedikit.

Kepadatan penumpang berbanding lurus dengan peningkatan suhu udara (tingkat local warming) di dalam gerbong. Semakin banyak jumlah hidung yang mengisap oksigen di situ, semakin sedikit ketersediaan oksigennya, dan kita pun jadi semakin sesak bernapas.

Keadaan ini diperparah oleh tingkah beberapa penumpang yang salah gaya: merokok kebal-kebul di tengah-tengah sesaknya penumpang yang bergelantungan, ngobrol dan ketawa kenceng-kenceng sampai menimbulkan sedikit stres penumpang lainnya, atau cara berpakaian mbak-mbak di sebelah yang bikin kita menyedot lebih banyak oksigen. Sampah berupa kulit jeruk, bungkus permen, kertas, puntung rokok, botol akua dan sebagainya berceceran di mana-mana. Bikin kita tambah puyeng.


Mungkin, seperti gerbong kelas ekonomi itulah situasi bumi kita sekarang. Bedanya, di gerbong KRL kita bisa bergelantungan di pintu atau naik di atas atap, sedangkan di bola dunia (globe) kita nggak bisa ke mana-mana. Kalaupun bisa kita jalan-jalan keluar dari atmosfer planet ini, kita mesti membawa persediaan oksigen dari sini.

Dan kini para pemimpin dunia pada ketar-ketir memikirkan pemanasan global (global warming), bikin konferensi, protokol ini-itu. Majalah tempat saya bekerja juga ikut-ikutan sok sibuk bikin edisi khusus soal ini.

Dan sekarang saya,
right here and right now in this very moment, pun sesak napas gara-gara nglembur kerjaan yang tiba-tiba berjibun! Tapi sumprit, saya pribadi tetep menganggap bahwa global warming ini sebenarnya persoalan biasa. Frase "bumi makin panas" juga sudah kita dengar berpuluh tahun silam.
There always be the bright side of anything, rite?

Dilihat dari hubungan antara jumlah populasi dan peningkatan suhu udara itu, ada dua penyebab utama terjadinya pemanasan global:
1. memang sudah takdir
2. penduduk bumi pada terlalu rajin bikin anak

Udah ahh.. I'll be here again very soon, and now let me jump back to my files... 11 more to go. Damn! F...k you, you f....ing f....k!!